-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Bukan Sekadar Pilihan, Sukarno Pernah Sebut Buruh Harus Berpolitik! Inilah Medan Perang Sesungguhnya Melawan Penindasan Kapitalis

Rabu, 27 Agustus 2025 | 21:04 WIB | 0 Last Updated 2025-08-27T14:05:23Z
 
Ilustrasi Bukan Sekadar Pilihan, Sukarno Pernah Sebut Buruh Harus Berpolitik! Inilah Medan Perang Sesungguhnya Melawan Penindasan Kapitalis (Foto: Instagram)

Opini Ditulis Oleh: Trisna Mukti Arisandy (Founder DailyNotif, KabarKiri, SuaraKiri dan Solidaritas.online)

KabarKiri - Bolehkah serikat sekerja berpolitik? Pertanyaan ini, yang diangkat Sukarno dalam risalahnya yang monumental, bukanlah sekadar wacana akademis. Bagi Bung Karno, ini adalah pertanyaan hidup-mati bagi kaum buruh di Indonesia dan di seluruh dunia.

Jawabannya tunggal, tegas, dan tak bisa ditawar: WAJIB. Bagi Sukarno, perjuangan buruh yang apolitis adalah sebuah bunuh diri historis, sebuah langkah menuju pelanggengan penindasan.

Banyak yang terjebak dalam ilusi bahwa perjuangan buruh cukuplah sebatas urusan normatif: kenaikan upah, pesangon, perbaikan jam kerja, atau tunjangan hari raya. Sukarno menolak keras pandangan sempit yang ia sebut sebagai "ekonomisme" ini. Perjuangan normatif tanpa kesadaran politik, menurutnya, hanyalah upaya sia-sia untuk mencari kenyamanan sesaat di dalam sebuah sistem yang secara fundamental memangsa mereka.

Itulah yang ia sebut sebagai mimpi meninabobokan, yakni mimpi “hangat-hangat bersarang di dalam kapitalisme”. Sebuah kemustahilan yang berbahaya karena membuat kaum buruh lupa pada akar masalah sesungguhnya.

Untuk memahami mengapa politik menjadi sebuah keharusan, Sukarno membongkar cara kerja mesin kapitalisme itu sendiri. Ia menegaskan adanya pertentangan abadi yang tak akan pernah bisa didamaikan antara "modal/kapital" dan "tenaga kerja".

“Ini pertentangan yang tidak bisa dihapus,” kata Sukarno. Ia bahkan menyindir, “Professor-professor botak dan sekolah-sekolah tinggi pun tak akan sanggup menghapusnya.”

Logika kapitalis, menurutnya, bersifat brutal dan tunggal: menumpuk keuntungan sebesar-besarnya. Caranya adalah dengan menekan biaya produksi sekeras mungkin. Dan satu-satunya "biaya" yang paling mudah dihisap dan dikorbankan adalah upah buruh. Proses penghisapan meerwaarde (nilai tambah) dari keringat buruh ini bukanlah kecelakaan, melainkan desain utama sistem.

Pada akhirnya, mesin ini hanya akan menghasilkan satu produk akhir bagi kelas pekerja. “Ujung-ujungnya adalah pemiskinan (verelendung),” jelas Sukarno.

Maka, jika akar masalahnya adalah sistem itu sendiri, solusi perjuangan buruh tidak bisa lagi bersifat tambal sulam. Ia harus bersifat radikal dan politis. Perjuangan itu harus bertujuan menghancurkan sistem yang menjadi sumber penindasan. “Nasib kaum buruh tidak bisa langsung diperbaiki selama stelsel (sistem) kapitalisme masih merajalela,” tegasnya.

Bukti sahih betapa pentingnya kekuatan politik bisa dilihat dari sejarah kelam bangsa ini. Gerakan buruh yang militan di awal kemerdekaan justru menjadi target utama penghancuran oleh negara, terutama saat rezim Orde Baru yang menjadi 'centeng' kapitalisme berkuasa. Aparat negara digunakan secara politik untuk melumpuhkan setiap potensi perlawanan buruh.

Di sinilah letak relevansi abadi dari risalah “Bolehkah Serekat Sekerja Berpolitik?”. Sukarno menunjukkan titik berangkat perjuangan. Medan perang pertama yang harus direbut dan dipertahankan mati-matian adalah apa yang ia sebut sebagai “politieke toestand”.

Kemerdekaan berserikat, kebebasan berkumpul, dan hak untuk menyuarakan kritik tanpa dibungkam bukanlah sebuah kemewahan. Ia adalah infrastruktur politik, syarat mutlak bagi kelas pekerja untuk membangun kesadaran, menggalang kekuatan, dan pada akhirnya melancarkan serangan balik terhadap sistem yang menindas mereka. Tanpa politik, perjuangan buruh hanyalah gerak di tempat.**

×
Berita Terbaru Update