KabarKiri - Di tengah derasnya arus zaman, kita sering disuguhi pemandangan yang tampak rapi, santun, dan tertata. Bahasa dibungkus dengan kesopanan, sikap dibalut keramahan, tapi semua itu kadang hanya topeng bagi satu hal: kepatuhan tanpa makna. Kita dijinakkan, dibentuk agar manis dalam kata, tapi tumpul dalam keberanian. Kita diajak untuk tenang, sabar, dan ‘waras’, padahal keadaan sudah menjerit minta diubah.
Namun di satu sudut yang sepi dari tepuk tangan, ada segelintir orang yang tetap memilih untuk “gila”. Mereka yang tetap lantang bersuara saat yang lain memilih diam. Mereka yang tetap menyalakan api meski dikepung air, bukan karena ingin membakar, tapi karena tahu dunia tak akan pernah hangat tanpa keberanian untuk menyulut perubahan.
Kegilaan itu bukan kehancuran. Ia adalah nyala.
Kegilaan yang dimaksud bukan anarki atau kekacauan. Ia adalah keberanian untuk menolak tunduk pada sistem yang menindas. Ia adalah keteguhan untuk berkata "tidak" saat mayoritas memilih "ya" demi kenyamanan. Ia adalah tekad untuk mengguncang bangku kekuasaan yang berkarat, dan mengembalikan suara pada mereka yang lama dibungkam.
Mengapa harus mempertahankan kegilaan? Karena terlalu banyak orang berubah menjadi "santun" hanya demi diterima. Mereka mengorbankan prinsip demi kedudukan, menjual idealisme demi pujian. Mereka lupa bahwa kesantunan yang tak bersuara adalah jalan sunyi menuju perbudakan. Dan budak tak pernah dilahirkan dari kegilaan—tapi dari ketakutan.
Perubahan tidak datang dari bisikan yang manis. Perubahan datang dari teriakan yang menggetarkan.
Dunia tidak berubah karena orang-orang yang patuh. Dunia berubah karena orang-orang yang nekat. Mereka yang disebut "gila" oleh masa kini, seringkali menjadi pahlawan di masa depan. Mereka tidak menunggu restu dari sistem. Mereka melawan, berdarah, jatuh, bangkit, dan terus berjalan.
Jadi jika hari ini kamu merasa aneh, berbeda, bahkan dicibir karena keberanianmu untuk melawan arus—tetaplah seperti itu. Tetap “gila” dengan cara yang paling jujur. Karena mempertahankan kegilaan demi perubahan jauh lebih mulia daripada berubah menjadi santun yang perlahan menuju perbudakan.
Biarkan mereka memeluk kenyamanan, sementara kita memeluk keberanian.
Karena sejarah tak pernah mencatat mereka yang diam dalam kesantunan palsu. Sejarah hanya mencatat mereka yang cukup “gila” untuk percaya bahwa dunia bisa diubah—dan benar-benar melakukannya.***
(Agr)