KabarKiri – Polemik berkepanjangan mengenai legitimasi kepemimpinan di wilayah adat Batin Bertuah, masyarakat Sakai, memasuki babak baru, Senin (8/12).
Setelah sebelumnya para kepala suku membantah keras status Batin M. Nasir sebagai hoax dan melanggar aturan adat, kini Sultan Siak ke-13, Sultan Assayadis Syarif Nazir Abdul Jalil Syaifuddin, menegaskan otoritas penuhnya untuk menengahi dan menyelesaikan persoalan internal ini secara tuntas.
Sultan menekankan bahwa akar masalah ini adalah kekosongan kepemimpinan batin (kepala suku) yang telah berlangsung lama. Hal ini, menurutnya, wajar memicu klaim dari berbagai pihak.
"Hal yang wajar ada yang mengaku jadi Batin. Suatu yang wajar, karena adat kita ini sudah lama terjadinya kekosongan kepemimpinan batin," ujar Sultan.
Namun, ia mengingatkan bahwa klaim tersebut harus didudukkan dalam forum penyelesaian hukum adat yang sah.
Menanggapi pihak-pihak yang dinilai bersikeras mengklaim hak yang bukan miliknya, Sultan memberikan peringatan keras. Ia mengibaratkan hukum adat memiliki sanksi setara dengan hukum negara.
"Bukan masalah agama saja yang ada hukum penistaan agama, akan tetapi hukum penistaan adat budaya ada juga," tegas Sultan, mengisyaratkan adanya konsekuensi serius bagi mereka yang melanggar tatanan adat.
Dalam proses penyelesaian, Sultan akan mengundang kedua belah pihak yang berkonflik.
Mereka diminta hadir dengan membawa alas hak dasar masing-masing untuk diakui atau dibatalkan status kebatinannya.
Penyelesaian ini akan merujuk pada Kitab BAB AL-QAWA’ID sebagai landasan hukum tertinggi dalam masalah Batin Sakai, serta mengedepankan peran Hukum Tua sebagai pemegang peran sentral dalam menjaga hak ulayat.
Mengingat polemik status Batin ini sudah berlarut-larut dan dikhawatirkan mengancam stabilitas internal adat Sakai, Sultan Assayadis Syarif Nazir Abdul Jalil Syaifuddin mendesak agar masalah ini segera diagendakan.
"Masalah batin ini mesti dan akan kita dudukkan dalam waktu segera dan diagendakan secepatnya untuk diselesaikan," katanya.
Penyelesaian hukum adat dipandang sebagai jalan keluar terbaik, bahkan didasari keyakinan bahwa hukum adat memiliki kedudukan fundamental dalam tatanan masyarakat lokal.
"Hukum adat lebih tua dari pada hukum negeri Republik Indonesia," tutup Sultan, menekankan urgensi penyelesaian damai melalui mekanisme tradisional.***
(FN)

%20(300%20x_20250522_220043_0000.png)
