![]() |
| Perusahaan peternakan ayam petelur PT. Dwi Putra Laksana beroperasi tanpa memiliki perizinan lengkap (KabarKiri) |
KabarKiri - Mencengangkan, sebuah perusahaan peternakan ayam petelur PT. Dwi Putra Laksana yang berlokasi di Dusun Bangun Dana Desa Bangun Rejo, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Lampung Selatan telah beroperasi belasan tahun diduga tanpa memiliki perizinan lengkap, Minggu (16/11).
Namun hingga kini tetap berjalan mulus tanpa pernah tersentuh penindakan.
Perusahaan milik saudara Johani tersebut, pada tahun 2020 pernah mendapatkan surat teguran dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Lampung Selatan dengan Nomor : 900/04/IV.17/2020 berbunyi 'untuk menghentikan kegiatan produksi di lapangan hingga berkas dokumen diurus.
Selain itu juga, pada tahun 2015 masyarakat Desa Bangun Rejo melakukan aksi unjuk rasa jilid I untuk menutup usaha peternakan ayam petelur yang telah merugikan masyarakat dampak yang ditimbulkan gangguan kesehatan, pencemaran lingkungan.
Namun semua itu kandas. Karena aksi masyarakat dibenturkan atau diintimidasi oleh para preman bayaran alias suruhan dari PT. Dwi Putra Laksana termasuk dengan pemerintah desa pun tak pernah mengurus surat izin lingkungan maupun surat kesepakatan yang diterima oleh masyarakat maupun desa dengan adanya sebuah perusahaan di wilayah Desa Bangun Rejo selama kepemimpinan Kades Rohgiyanto.
Dampak dari pembiaran aktivitas usaha peternakan ayam petelur yang berada di Dusun Bangun Dana, lalat dan aroma busuk menyebar ke seluruh wilayah administratif Desa Bangun Rejo.
Terutama wilayah Dusun Bangun Dana, karena jarak antara perusahaan dengan permukiman warga hanya 5 meter.
Hasil pantauan media ini di lapangan menemukan, ribuan ayam petelur sekitar 40 ribu ekor lebih, dikelola secara aktif di lokasi tersebut. Kegiatan peternakan itu bahkan disebut berafiliasi dengan pihak PT tertentu yang menjadi mitra penyedia dan penampung ayam yang sudah tidak produktif.
Meski aktivitas berlangsung di tengah-tengah lingkungan penduduk, tak terlihat adanya papan izin usaha, izin lingkungan, maupun tanda-tanda pemeriksaan dari instansi berwenang.
Seorang pekerja yang ditemui di lokasi membenarkan bahwa usaha tersebut milik Johani dan sudah berjalan lama.
“Di sini ada 7 kandang, sekitar ± 40 ribu ayam petelur dengan hasil telur per hari sekitar 1,5 ton. Dan berdiri sudah lama, sekitar 13 tahun,” ujarnya singkat.
Saat ditanya 'apakah memiliki izin lengkap? pekerja tersebut menjawab ' usaha bosnya mengklaim telah mengantongi izin. Namun ia tidak menampik bahwa perizinan yang dimiliki tidak lengkap sesuai regulasi. Bahkan mengakui surat yang ada pun tidak pernah diperbaharui atau diperpanjang.
“Ada izin dari lingkungan tetapi era kades dulu, yakni zaman pak Purnomo Wijoyo tahun 2015, dan juga di kabupaten, kalau tidak salah itu SIUP. Diperpanjang atau tidak kami tidak mengetahui, kan ada masa berlakunya ya?" Tanyanya, karena di sini hanya pekerja dan kami hanya memiliki fotocopy-an suratnya,” ujarnya kepada media ini.
Namun, pengakuan dan surat fotocopy pernyataan yang ditandatangani oleh kepala desa sudah kadaluarsa, bahkan surat yang diperlihatkan justru menimbulkan pertanyaan besar? SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) jelas bukan izin untuk kegiatan usaha peternakan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 dan Permentan Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2017, usaha peternakan wajib memiliki Izin Usaha Peternakan (IUP) dan Izin Lingkungan (UKL-UPL atau AMDAL) sebelum beroperasi.
Ironisnya, meski telah berjalan hampir 13 tahun tanpa izin yang semestinya, UPT Peternakan dan Pemerintah Kecamatan Ketapang serta Pemerintah Desa Bangun Rejo seolah tutup mata.
Saat dikonfirmasi, Kepala Desa Bangun Rejo, Rohgiyanto justru mengaku tidak pernah menandatangani surat izin lingkungan untuk kandang ayam petelur di wilayahnya tersebut selama ia menjabat.
“Memang ada peternakan ayam di sana, dulu sempat bikin keresahan warga karena bau dan banyak lalat. Selama saya menjabat tidak pernah ditunjukkan dan melihat maupun menandatangani surat izin lingkungan," ungkapnya.
Saat ini, pihaknya sedang berkolaborasi dengan berbagai pihak termasuk lembaga organisasi maupun kantor hukum untuk memanggil pemilik perusahaan tersebut, agar mematuhi peraturan yang ada.
Jika tidak pihaknya menegaskan, bersama masyarakat akan menutup aktivitas usaha peternakan ayam petelur yang telah merugikan masyarakatnya.
"Ya, kita sedang merumuskan untuk menindaklanjuti kembali keluhan masyarakat saat ini. Insyaallah Pemerintah Desa Bangun Rejo bersama lembaga dan kantor hukum bisa menyelesaikan masalah ini. Minta doanya saja," ucapnya.
Pernyataan itu semakin memperkuat dugaan bahwa pihak terkait melakukan pembiaran terhadap aktivitas yang diduga melanggar hukum tersebut.
Padahal, bau menyengat dan limbah dari peternakan ayam itu sudah lama dikeluhkan warga, bahkan dikhawatirkan dapat memicu penyakit dan pencemaran lingkungan di sekitar permukiman.
Berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap kegiatan usaha wajib memiliki izin lingkungan sebelum beroperasi.
Selain itu, Pasal 91 PP Nomor 95 Tahun 2012 mewajibkan setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan peternakan memiliki Izin Usaha Peternakan (IUP).
Fakta di lapangan yang menunjukkan peternakan ini tetap beroperasi tanpa izin lengkap selama bertahun-tahun, memperlihatkan adanya dugaan pembiaran oleh dinas terkait, pemerintah kecamatan, aparatur desa, termasuk Kepala Desa yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pengawasan lingkungan dan tata ruang wilayah.
Warga sekitar menilai keberadaan peternakan tersebut telah menimbulkan keresahan akibat bau tak sedap dan lalat yang bertebaran.
Selain mengganggu kenyamanan, kondisi ini juga berpotensi menimbulkan penyakit pernapasan dan infeksi kulit, terutama bagi anak-anak.
Praktik seperti ini tidak hanya melanggar aturan administrasi, tetapi juga membahayakan kesehatan masyarakat dan mencemari lingkungan sekitar.
Aktivis lingkungan dan warga setempat mendesak Pemerintah Kabupaten Kabupaten Lampung Selatan, Dinas Lingkungan Hidup, serta Dinas Peternakan, Dinas Kesehatan dan Pertanian untuk segera turun tangan.
Tidak hanya menertibkan peternakan ayam tanpa izin lengkap ini, tetapi juga menelusuri dugaan pembiaran yang dilakukan oleh oknum tertentu.
“Kalau dibiarkan, ini bisa jadi contoh buruk. Hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Tiga belas tahun berjalan tanpa izin lengkap bukan lagi kelalaian biasa, melainkan indikasi kelengahan dan lemahnya pengawasan dinas terkait dan aparat desa.
Jika tak segera ditindak, maka bisa dipastikan hukum hanya menjadi hiasan di atas kertas, sementara lingkungan dan kesehatan warga terus menjadi korban.
Sesuai regulasi untuk mendirikan perusahaan ayam petelur yang legal di Indonesia, perlu menyiapkan berbagai dokumen perizinan, bukan perlengkapan fisik ternak. Perizinan ini penting untuk menghindari masalah hukum di masa mendatang.
Berikut adalah perlengkapan atau dokumen perizinan utama yang harus disiapkan:
Dokumen Administrasi Umum
Nomor Induk Berusaha (NIB): Ini adalah identitas pelaku usaha dan bisa didapatkan melalui sistem Online Single Submission (OSS).
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP): NPWP perusahaan dan/atau pemilik usaha.
Akta Pendirian Perusahaan: (Jika dalam bentuk badan hukum seperti PT atau CV), termasuk akta perubahan terakhir dan keputusan pengesahan sebagai badan hukum.
Kartu Tanda Penduduk (KTP): KTP direktur atau pemilik usaha.
Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU): Surat keterangan domisili dari Lurah atau Kepala Desa setempat.
Izin Khusus Usaha Peternakan
Izin Usaha Peternakan (IUP): Izin ini mencakup detail jenis ternak, kapasitas produksi, dan lokasi usaha, sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian.
Izin Mendirikan Bangunan (IMB): Diperlukan untuk mendirikan kandang dan bangunan pendukung lainnya.
Izin Lingkungan: Usaha peternakan wajib memiliki dokumen lingkungan, yang bisa berupa:
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL): Wajib untuk kapasitas 10.000 hingga di bawah 100.000 ekor.
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP): Diperlukan jika usaha juga mencakup kegiatan perdagangan, terutama bagi usaha dengan kekayaan bersih di atas Rp50 juta.
Izin Kesehatan Hewan: Untuk memastikan kesehatan dan kelayakan hewan ternak.
Dokumen Pendukung Lainnya
Bukti Kepemilikan Tanah: Atau surat sewa/kontrak lahan yang sah.
Surat Pernyataan Bermaterai: Dokumen lain yang mungkin diminta oleh dinas terkait.
Rekomendasi dari Dinas Peternakan Setempat (DP3): Surat rekomendasi teknis dari dinas terkait.
Perlu diperhatikan bahwa proses perizinan saat ini banyak dilakukan melalui sistem OSS dan mungkin memerlukan pemenuhan komitmen serta pelaporan berkala kepada dinas teknis terkait.
Pastikan juga lokasi kandang memenuhi syarat, seperti jarak minimal 200 meter dari pemukiman warga.***
Alfiansyah Muslim

%20(300%20x_20250522_220043_0000.png)
