![]() |
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal saat menyampaikan pidato di Seminar 'Redesain Sistem Pemilu Pasca Putusan MK (Dok. Ocha Herma-one) |
KabarKiri - Partai Buruh menegaskan dukungan penuh terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai Pemilu 2029. Putusan ini dianggap sebagai tonggak reformasi demokrasi untuk mengatasi kelelahan sistemik akibat pemilu serentak “lima kotak”.
Dalam seminar “Redesain Sistem Pemilu Pasca Putusan MK” di Jakarta pada 31 Juli 2025, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyerukan komitmen nasional dengan slogan “We Stand with MK”.
Ia menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga wajib dijalankan tanpa penolakan.
“Jika putusan ini tidak direalisasikan, Partai Buruh siap memobilisasi ribuan massa bersama masyarakat sipil,” tegas Said Iqbal.
Wahyu Hidayat, pengurus Exco Partai Buruh dan pendiri Spirit Binokasih, yang hadir dalam seminar tersebut, menyoroti supremasi konstitusi.
Mengutip Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, ia menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, di mana konstitusi menjadi sumber hukum dan etika tertinggi.
“Konstitusi harus mengarahkan struktur politik dan perilaku publik. Aneh jika pejabat publik menolak putusan MK atau tidak memahami peran MK sebagai negatif legislator,” ujar Wahyu, Jumat (1/8).
Ia mengkritik adanya manuver di kalangan legislator yang diduga menolak putusan MK, yang menurutnya melanggar Pasal 1 UUD 1945.
“Pasal itu tegas menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Pejabat negara tidak boleh menunjukkan sikap menolak amar putusan MK,” tambahnya.
Putusan MK 135/2024 memisahkan pemilu nasional (presiden, DPR, DPD) dari pemilu daerah (DPRD, kepala daerah) dengan jeda 2 hingga 2,5 tahun setelah pelantikan presiden dan DPR/DPD.
MK menilai pemilu serentak menyebabkan beban berat bagi penyelenggara, partai politik, dan pemilih, bahkan memakan korban jiwa pada Pemilu 2019.
Pemisahan ini diharapkan meningkatkan kualitas demokrasi, memungkinkan evaluasi kinerja pemerintahan secara bertahap, dan memperkuat kaderisasi partai politik.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin menyambut positif putusan ini, menyebutnya memberi ruang untuk desain pemilu yang lebih efisien.
Namun, ia menekankan perlunya revisi UU Pemilu dan UU Pilkada sebagai dasar teknis. Sementara itu, sejumlah pihak seperti Puan Maharani dan Partai Nasdem menilai putusan ini bertentangan dengan UUD 1945, terutama karena potensi perpanjangan masa jabatan DPRD.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti membantah, menyebut perpanjangan jabatan sebagai norma transisi yang konstitusional.
Partai Buruh juga menolak wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD, yang dianggap mengembalikan praktik Orde Baru.
“Kami akan memimpin perlawanan bersama masyarakat sipil jika ide ini dipaksakan,” ujar Said Iqbal.
Partai Buruh mendesak DPR dan pemerintah segera merevisi UU Pemilu untuk mengakomodasi putusan MK, dengan melibatkan masukan dari masyarakat sipil dan akademisi.
Putusan ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga tentang memastikan kedaulatan rakyat sebagai inti demokrasi.
Pemisahan pemilu diharapkan menciptakan sistem pemerintahan yang lebih seimbang antara pusat dan daerah.
Partai Buruh, dengan semangat “We Stand with MK”, mengajak semua pihak untuk mengawal implementasi putusan ini demi Pemilu 2029 yang lebih demokratis dan berkeadilan.***