Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Bersatu, Kuat, dan Berjuang untuk Keadilan Buruh

Senin, 14 Juli 2025 | 22:13 WIB | 0 Last Updated 2025-07-14T15:18:53Z
Ketua Majelis Nasional FSPMI, Said Iqbal saat memberikan orasi nya di Konsolidasi Nasional FSPMI (Dok. FSPMI)

KabarKiri - Di tengah riuhnya perjuangan kelas pekerja, Konsolidasi Nasional FSPMI yang digelar di Pusdiklat FSPMI, Cisarua, Bogor, pada 14-16 Juli 2025, menjadi titik balik bagi perjuangan buruh Indonesia.

Acara ini bukan sekadar pertemuan, melainkan panggilan jiwa untuk menyatukan kekuatan, menyusun strategi, dan menggagas Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan versi FSPMI yang berpihak pada keadilan. 

Said Iqbal, Ketua Majelis Nasional FSPMI, dengan tegas menyuarakan bahwa selama hampir 30 tahun, FSPMI telah menjadi sumbu gerakan buruh, memperjuangkan hak-hak pekerja yang sering kali diabaikan.

“Mari kita bahas RUU Ketenagakerjaan versi FSPMI, tetap solid, dan jaga keutuhan menjelang kongres!” serunya di hadapan ratusan pengurus, membakar semangat perlawanan terhadap ketidakadilan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023 menjadi landasan kuat. MK mengabulkan sebagian gugatan serikat pekerja terhadap UU Cipta Kerja, yang selama ini dianggap meminggirkan hak buruh. 

Putusan ini memerintahkan pembentukan UU Ketenagakerjaan baru dalam waktu maksimal dua tahun, hingga 31 Oktober 2026. 

MK menegaskan perlunya regulasi yang melindungi pekerja, seperti pengutamaan tenaga kerja lokal, pengaturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang adil, pembatasan alih daya, dan jaminan pesangon serta upah layak. 

Ini bukan sekadar kemenangan hukum, tetapi amanat konstitusi untuk memastikan kehadiran negara bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih, menambahkan dimensi moral dalam perjuangan ini. Ia menyerukan partisipasi aktif kelas pekerja dalam menyusun RUU Ketenagakerjaan. 

“Buruh harus hadir, memberikan masukan konstruktif dan mengawalnya, agar negara benar-benar menjalankan amanat UUD 1945,” tegasnya. 

Partisipasi ini bukan hanya soal kehadiran fisik, tetapi tentang menyuarakan aspirasi yang argumentatif, berbasis data, dan berorientasi pada keadilan sosial menuju Indonesia Emas 2045. 

Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja sebelumnya melanggar hak-hak dasar pekerja, terutama perempuan, dengan lemahnya perlindungan maternitas dan minimnya pengaturan terhadap kekerasan di tempat kerja. 

Inilah saatnya buruh bangkit, menyusun regulasi yang tidak hanya melindungi, tetapi juga memajukan.

Konsolidasi ini adalah panggilan untuk bersatu. Ketimpangan masih nyata: berdasarkan laporan ILO, 60% pekerja di Indonesia masih berstatus informal, tanpa jaminan sosial yang memadai. 

Praktik alih daya yang tidak manusiawi dan PHK sepihak, seperti yang dikritik Said Iqbal, telah menjadi “perbudakan modern”.

Kita tidak bisa diam. FSPMI, dengan sejarah panjangnya, telah membuktikan bahwa perjuangan kolektif mampu mengubah nasib. 

Ingat, pada 2012, aksi buruh berhasil mendorong kenaikan upah minimum di beberapa daerah hingga 40%. 

Kini, saatnya mengulang sejarah itu dengan menyusun RUU Ketenagakerjaan yang benar-benar berpihak pada pekerja.

Mari jadikan Konsolidasi Nasional FSPMI sebagai momentum untuk tidak hanya bermimpi, tetapi bertindak. 

Kita bukan sekadar pekerja, kita adalah penggerak perubahan. Bersatu, kita kuat. Berjuang, kita menang. 

Hentikan alih daya yang merendahkan martabat, tolak upah murah, dan pastikan pesangon serta dijamin nya hak cuti. Bersama FSPMI, kita wujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera!***



(WhY)
×
Berita Terbaru Update