![]() |
Soe Hok Gie |
KabarKiri - Di tengah riuhnya sejarah Indonesia pasca kemerdekaan, nama Soe Hok Gie bersinar sebagai sosok muda yang teguh menjaga idealisme.
Lahir pada 17 Desember 1942 dari keluarga Tionghoa di Jakarta, Gie bukan hanya dikenal sebagai aktivis, tetapi juga sebagai intelektual yang tajam, penulis yang peka, dan pendaki yang mencintai alam.
Ia adalah gambaran nyata bahwa suara nurani bisa lebih nyaring dari gemuruh politik.
Sebagai mahasiswa Universitas Indonesia, Gie aktif mengkritik rezim Orde Lama di masa Soekarno.
Namun, ia juga tidak segan menantang kekuasaan Orde Baru yang mulai menunjukkan wajah represifnya.
Gie tidak berpihak pada kekuasaan manapun. Ia berpihak pada rakyat, pada kebenaran, dan pada kejujuran. Bagi Gie, menjadi apolitis justru berarti membiarkan kejahatan merajalela.
Buku hariannya yang kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran menjadi warisan intelektual yang menggugah: penuh refleksi, kejujuran, dan kritik sosial. Ia menulis, "Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda."
Ironisnya, kalimat itu seolah menjadi nubuat. Gie meninggal muda, di usia 26 tahun, di puncak Gunung Semeru, tempat ia merasa paling bebas dari kemunafikan dunia.
Soe Hok Gie juga menjadi pendiri Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam), komunitas pecinta alam kampus pertama di Indonesia.
Baginya, mendaki gunung bukan hanya pelarian dari hiruk pikuk politik, tapi juga bentuk perenungan dan kedekatan dengan alam sebagai sumber kejujuran dan kesunyian yang ia dambakan.
Di gunung, Gie merasa jauh dari intrik dan kemunafikan dunia kekuasaan.
Sebagai anak muda keturunan Tionghoa, Gie juga menghadapi diskriminasi identitas. Namun, alih-alih tenggelam dalam stigma, ia menjadikan itu sebagai bahan perenungan dan memperkuat tekadnya untuk memperjuangkan keadilan universal.
Ia tidak memperjuangkan identitas etnis, melainkan nilai-nilai kemanusiaan yang melintasi batas ras dan agama.
Warisan Gie bukan hanya pada tulisan atau aksi demonstrasinya, melainkan pada semangat kritis yang jujur dan tak kompromi.
Dalam era digital dan informasi cepat seperti sekarang, suara seperti Gie menjadi semakin langka.
Ia mengajarkan kita bahwa menjadi muda bukan alasan untuk diam, dan menjadi intelektual bukan berarti terjebak dalam menara gading.
Gie hidup dalam ingatan, karena idealismenya tetap relevan di setiap zaman.***
(Riasto)