KabarKiri - Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), melancarkan kritik pedas terhadap Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) yang dinilainya gagal total menjalankan peran sebagai bank data calon pekerja.
Menurutnya, setelah desakan berulang dari kalangan buruh, Kemenaker justru menghadirkan job fair yang ia ibaratkan sebagai “sakit perut diberi obat sakit pusing.”
Kebijakan ini, yang digadang-gadang sebagai solusi, terbukti tak mampu menciptakan atau menyerap tenaga kerja secara signifikan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mengungkap realitas pahit: meski ekonomi nasional tumbuh 5,05%, tingkat pengangguran terbuka tetap tinggi di 5,32%, setara 7,86 juta orang hingga Agustus 2024.
Di Jawa Barat, situasinya lebih mengkhawatirkan, dengan tingkat pengangguran terbuka mencapai 7,48% atau sekitar 1,9 juta orang, meski Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jabar tumbuh 4,93%.
Ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi tak serta-merta dikonversi menjadi lapangan kerja yang memadai.
Senada dengan kritik Said Iqbal, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) menawarkan visi progresif untuk mengatasi krisis tenaga kerja di Jabar.
Ia menegaskan perlunya sistem rekrutmen berbasis bank data pekerja yang transparan untuk menghilangkan antrian panjang dalam penerimaan karyawan, yang kerap menjadi celah bagi praktik mafia calo tenaga kerja.
Praktik calo ini, dengan tarif “jasa” Rp5-20 juta per pekerja, telah memperparah angka kemiskinan dan ketidakadilan di pasar tenaga kerja.
KDM juga mendorong optimalisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jabar 2025 sebesar Rp31,68 triliun untuk menghidupkan roda perekonomian lokal, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketimpangan sosial.
Fokusnya adalah realokasi anggaran ke sektor produktif, seperti pembangunan infrastruktur jalan yang anggarannya melonjak dari Rp600 miliar menjadi Rp2,4 triliun, serta penguatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Data BPS Jabar 2024 menunjukkan UMKM menyumbang 58% PDRB dan menyerap 14,5 juta pekerja, menjadikannya tulang punggung ekonomi daerah.
KDM menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pusat untuk memaksimalkan dampak kebijakan.
Melalui forum “Jabar Ngariung” pada 13 Maret 2025 di Bogor, ia mengajak 27 bupati dan wali kota se-Jabar menyamakan visi, terutama dalam mengatasi kemiskinan (3,67 juta jiwa miskin di Jabar per September 2024) dan pengangguran.
Realokasi APBD Jabar sebesar Rp5,4 triliun dialihkan untuk proyek padat karya, seperti normalisasi Kali Bekasi (anggaran Rp3,6 triliun), pembangunan 1.000 rumah apung di Bekasi untuk korban banjir, dan pengembangan 10.000 UMKM baru yang berpotensi menyerap 50.000 pekerja.
Proyek-proyek ini dikoordinasikan dengan kabupaten/kota, melibatkan kontraktor lokal dan tenaga kerja setempat, serta mengintegrasikan dana dari APBN, CSR, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), hingga partisipasi masyarakat.
KDM juga memangkas anggaran tak strategis, seperti perjalanan dinas luar negeri (Rp1,5 miliar) dan dana hibah keagamaan (turun dari Rp345,8 miliar ke Rp132,5 miliar), untuk memastikan efisiensi dan keadilan distribusi.
Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih, menyambut antusias gagasan Said Iqbal dan KDM.
“Pemikiran yang berakar dari perjuangan buruh ini adalah angin segar. Ke sepemahaman bahwa negara harus hadir menjamin pekerja formal dan informal, mulai dari pekerjaan, kesehatan, pendidikan, perumahan, hingga kebutuhan pokok,” ujarnya, Senin (9/6).
Ia optimistis sinergi pemikiran kedua tokoh dapat mendorong kesejahteraan pekerja khususnya di Jabar sekalipun dia masih mempertanyakan apakah negara punya keberanian untuk memberikan terapi kejut dalam pemberantasan mafia calo ketenagakerjaan.
Namun, fakta di lapangan memperkuat urgensi perubahan. Laporan Kemenaker 2023 menyebut hanya 1,2 juta dari 3,5 juta pencari kerja terserap melalui job fair, menunjukkan efektivitasnya yang sangat rendah.
Said Iqbal bahkan menuntut menteri dan wakil menteri Kemenaker mundur atas “kegagalan total” dalam mengelola pasar tenaga kerja.
Langkah Konkret untuk Jabar
Pemerintah Jabar harus segera membangun bank data pekerja terpusat yang terintegrasi dengan kabupaten/kota untuk memastikan rekrutmen transparan dan adil.
APBD harus terus diarahkan pada proyek padat karya, seperti revitalisasi 1.200 km jalan provinsi dan penguatan UMKM, yang terbukti menyerap tenaga kerja secara masif.
Kolaborasi dengan pemerintah pusat, melalui sinkronisasi APBN dan APBD, serta keterlibatan sektor swasta, akan mempercepat penciptaan lapangan kerja.
Jika berhasil, Jabar bisa menjadi model nasional untuk pengelolaan tenaga kerja yang inklusif dan berkeadilan.***
(WhY)