Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

‎Macet Karena Libur Tak Masalah, Tapi Kalau Karena Demo Buruh?

Jumat, 27 Juni 2025 | 18:48 WIB | 0 Last Updated 2025-06-27T11:54:29Z
Ilustrasi perbedaan respon ketika macet karena demo buruh dan libur panjang
KabarKiri - Libur panjang Tahun Baru Islam 2025 membawa dampak besar di jalanan, kemacetan parah mengular di Tol Cipularang sepanjang 12 hingga 25 kilometer. 
‎Ribuan kendaraan terjebak dari pagi hingga siang. Keluhan pun bermunculan di media sosial. Tapi, menariknya: tak ada caci maki yang ramai dilontarkan. 
‎Tidak ada kemarahan kolektif sebagaimana yang terjadi saat demo buruh menyebabkan kemacetan serupa.
‎Fenomena ini tidak luput dari perhatian Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih sekaligus Ketua PC SPAMK FSPMI Kabupaten Purwakarta. 
‎Ia menilai ketimpangan respons publik ini sebagai potret nyata dari ketidakadilan sosial yang kian mengakar. 
‎“Kalau macet karena libur atau proyek jalan, masyarakat menganggap itu bagian dari hidup. Tapi saat buruh turun ke jalan, mereka langsung dihujat, dianggap pengganggu ketertiban,” katanya dengan nada kecewa, Jumat (27/6).
‎Beberapa waktu lalu, istri Ridwan Kamil sempat terjebak tiga jam akibat demo buruh. 
‎Respons publik kala itu penuh simpati. Namun, bukan pada buruh yang berdemo melainkan pada tokoh publik yang terdampak. 
‎Ironisnya, ketika macet terjadi karena liburan atau proyek tol, masyarakat justru memilih pasrah. 
‎Padahal, tuntutan buruh bukan perkara sepele; mereka menyuarakan upah layak, memperjuangkan hak dasar untuk hidup.
‎Aksi buruh bukan sekadar unjuk rasa, melainkan seruan terakhir ketika pintu dialog ditutup rapat-rapat oleh penguasa yang keras kepala. 
‎Mereka turun ke jalan karena itulah satu-satunya cara untuk didengar. Namun sayangnya, perjuangan itu justru disambut dengan cibiran, bukan empati.
‎“Upah layak itu bukan kemewahan, itu kebutuhan pokok,” tegas Wahyu. 
‎“Kalau kita bisa memahami bahwa kemacetan karena wisata atau proyek jalan adalah konsekuensi logis, kenapa tidak bisa memahami bahwa demo buruh juga punya urgensi yang sama?”
‎Fenomena ini membuka luka lama tentang bagaimana buruh sering kali diposisikan sebagai pengganggu, bukan sebagai pejuang. 
‎Ketika mereka tidak bekerja, ekonomi terguncang. Tapi saat mereka bersuara, mereka dianggap musuh. Sebuah ironi yang harus disadari bersama.
‎Sudah saatnya publik berhenti melihat buruh sebagai biang kerok. Mereka adalah tulang punggung bangsa. 
‎Jika kita bisa memaklumi kemacetan karena liburan, proyek jalan, atau konser artis luar negeri, maka kita juga harus bisa menghargai perjuangan buruh untuk hidup yang lebih layak.***
(WhY)

×
Berita Terbaru Update