Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Menghidupkan Sejarah untuk Purwakarta yang Berwibawa

Jumat, 27 Juni 2025 | 12:00 WIB | 0 Last Updated 2025-06-27T05:13:11Z
Pertemuan Dzuriyyat tiga tokoh besar bersama Bupati Purwakarta

KabarKiri - Bayangkan sebuah kota yang didirikan bukan dengan alat berat, tapi dengan keyakinan dan keikhlasan. 
‎Di tengah riuhnya zaman kolonial, berdirilah Purwakarta sebuah nama yang berarti “awal kejayaan” yang lahir dari visi besar Kanjeng Dalem Sholawat atau R.A.A. Suriawinata. 
‎Bersama Mama Sempur dan Syekh Baing Yusuf, mereka bukan hanya menyusun pondasi kota, tetapi membentuk jati diri masyarakat yang beriman, bersatu, dan berdaya.
‎Kini, ketika pembangunan masif dan modernisasi merambah, kita dihadapkan pada pertanyaan sederhana tapi menohok: Apakah kita hanya menikmati hasilnya, atau masih memahami maknanya?
‎Kanjeng Dalem Sholawat, Bupati Karawang tahun 1830, adalah arsitek sejati Purwakarta. 
‎Ia memindahkan ibu kota dari Wanayasa ke Sindangkasih, mendirikan Masjid Agung Baing Yusuf dan Situ Buleud dengan kerja keras dan shalat istikharah. 
‎Dalam senyap doa dan tekad melawan Belanda, ia merancang kota ini sebagai lambang kemajuan dan keimanan.
‎Di sisi lain, Mama Sempur ulama dari Plered yang menimba ilmu di Mekkah mendirikan Pesantren As-Salafiyyah tahun 1911. 
‎Ia tak hanya mendidik santri, tetapi membentuk jiwa-jiwa merdeka yang ikut membela tanah air. 
‎Karyanya Cempaka Dilaga adalah ajaran kasih dan keadilan yang masih relevan hingga kini. Makamnya di Sempur jadi tempat ziarah, tapi perjuangannya perlahan memudar dalam ingatan.
‎Sementara itu, Syekh Baing Yusuf, sepupu Kanjeng Dalem, menjadi penopang spiritual kota ini. 
‎Bersama sang bupati, ia menghidupkan semangat Islam dalam masyarakat lewat Masjid Agung. 
‎Namun, seiring waktu, banyak anak muda yang lebih hafal nama influencer ketimbang pahlawan lokalnya.
‎Melihat realitas ini, Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih, angkat bicara dalam pertemuan dzurriyyat tiga tokoh besar ini bersama Bupati Purwakarta, Om Zein, pada 26 Juni 2025. 
‎Ia menegaskan, "Menghargai sejarah bukan soal bernostalgia. Ini tentang melanjutkan perjuangan menuju Purwakarta yang berwibawa dan bersatu," Jumat (27/6).
‎Pertemuan yang dimotori Aa Komara, pegiat budaya, menjadi jembatan penting antar keturunan tokoh sejarah. 
‎Namun, tantangannya nyata: hanya 35% pelajar SMA di Jabar memahami sejarah lokal, sementara lebih dari 78% pengguna aktif media sosial cenderung mengabaikannya. 
‎Padahal, IPM Purwakarta yang tinggi (73,74) menunjukkan potensi besar jika dikaitkan dengan penguatan identitas daerah.
‎Solusinya? Bawa sejarah ke tempat mereka berada. Jadikan konten digital, wisata religi, dan kurikulum lokal sebagai medium baru. Dzurriyyat pun harus dilibatkan sebagai duta sejarah hidup.
‎Pemerintah Purwakarta dan Bogor juga diharapkan bersinergi, seperti mendukung Haul ke-153 Kanjeng Dalem Sholawat yang akan digelar 13 Juli 2025.
‎Bayangkan jika suatu hari nanti, kita selfie di Taman Sri Baduga tanpa tahu siapa yang mendesain Situ Buleud. 
‎Atau ketika kita lewat di depan Masjid Baing Yusuf tanpa menyadari perjuangan spiritual di baliknya.
‎Jika leluhur kita bisa berbicara, mereka mungkin akan bertanya:
‎"Apa yang kalian lakukan untuk menjaga warisan kami tetap hidup?"
‎Sejarah bukan beban, melainkan cahaya untuk menuntun langkah ke depan. Menghidupkan sejarah bukan sekadar mengenang, tetapi mengukuhkan identitas dan mewujudkan cita-cita mereka yang telah mendahului kita.
‎Sudahkah kita menjawab panggilan itu?***


Ditulis oleh: Wahyu Hidayat, S.H. (Pendiri Spirit Binokasih)
×
Berita Terbaru Update