![]() |
Pertemuan Dzuriyyat tiga tokoh besar bersama Bupati Purwakarta |
KabarKiri - Bayangkan sebuah kota yang didirikan bukan dengan alat berat, tapi dengan keyakinan dan keikhlasan.
Di tengah riuhnya zaman kolonial, berdirilah Purwakarta sebuah nama yang berarti “awal kejayaan” yang lahir dari visi besar Kanjeng Dalem Sholawat atau R.A.A. Suriawinata.
Bersama Mama Sempur dan Syekh Baing Yusuf, mereka bukan hanya menyusun pondasi kota, tetapi membentuk jati diri masyarakat yang beriman, bersatu, dan berdaya.
Kini, ketika pembangunan masif dan modernisasi merambah, kita dihadapkan pada pertanyaan sederhana tapi menohok: Apakah kita hanya menikmati hasilnya, atau masih memahami maknanya?
Kanjeng Dalem Sholawat, Bupati Karawang tahun 1830, adalah arsitek sejati Purwakarta.
Ia memindahkan ibu kota dari Wanayasa ke Sindangkasih, mendirikan Masjid Agung Baing Yusuf dan Situ Buleud dengan kerja keras dan shalat istikharah.
Dalam senyap doa dan tekad melawan Belanda, ia merancang kota ini sebagai lambang kemajuan dan keimanan.
Di sisi lain, Mama Sempur ulama dari Plered yang menimba ilmu di Mekkah mendirikan Pesantren As-Salafiyyah tahun 1911.
Ia tak hanya mendidik santri, tetapi membentuk jiwa-jiwa merdeka yang ikut membela tanah air.
Karyanya Cempaka Dilaga adalah ajaran kasih dan keadilan yang masih relevan hingga kini. Makamnya di Sempur jadi tempat ziarah, tapi perjuangannya perlahan memudar dalam ingatan.
Sementara itu, Syekh Baing Yusuf, sepupu Kanjeng Dalem, menjadi penopang spiritual kota ini.
Bersama sang bupati, ia menghidupkan semangat Islam dalam masyarakat lewat Masjid Agung.
Namun, seiring waktu, banyak anak muda yang lebih hafal nama influencer ketimbang pahlawan lokalnya.
Melihat realitas ini, Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih, angkat bicara dalam pertemuan dzurriyyat tiga tokoh besar ini bersama Bupati Purwakarta, Om Zein, pada 26 Juni 2025.
Ia menegaskan, "Menghargai sejarah bukan soal bernostalgia. Ini tentang melanjutkan perjuangan menuju Purwakarta yang berwibawa dan bersatu," Jumat (27/6).
Pertemuan yang dimotori Aa Komara, pegiat budaya, menjadi jembatan penting antar keturunan tokoh sejarah.
Namun, tantangannya nyata: hanya 35% pelajar SMA di Jabar memahami sejarah lokal, sementara lebih dari 78% pengguna aktif media sosial cenderung mengabaikannya.
Padahal, IPM Purwakarta yang tinggi (73,74) menunjukkan potensi besar jika dikaitkan dengan penguatan identitas daerah.
Solusinya? Bawa sejarah ke tempat mereka berada. Jadikan konten digital, wisata religi, dan kurikulum lokal sebagai medium baru. Dzurriyyat pun harus dilibatkan sebagai duta sejarah hidup.
Pemerintah Purwakarta dan Bogor juga diharapkan bersinergi, seperti mendukung Haul ke-153 Kanjeng Dalem Sholawat yang akan digelar 13 Juli 2025.
Bayangkan jika suatu hari nanti, kita selfie di Taman Sri Baduga tanpa tahu siapa yang mendesain Situ Buleud.
Atau ketika kita lewat di depan Masjid Baing Yusuf tanpa menyadari perjuangan spiritual di baliknya.
Jika leluhur kita bisa berbicara, mereka mungkin akan bertanya:
"Apa yang kalian lakukan untuk menjaga warisan kami tetap hidup?"
Sejarah bukan beban, melainkan cahaya untuk menuntun langkah ke depan. Menghidupkan sejarah bukan sekadar mengenang, tetapi mengukuhkan identitas dan mewujudkan cita-cita mereka yang telah mendahului kita.
Sudahkah kita menjawab panggilan itu?***
Ditulis oleh: Wahyu Hidayat, S.H. (Pendiri Spirit Binokasih)