![]() |
Ketua Exco Partai Buruh Jawa Barat sekaligus ketua DPW FSPMI Jawa Barat saat berorasi di atas mobil komando (Dok. FSPMI) |
KabarKiri — Di pertengahan Juli 2025, suhu politik di Jawa Barat dipanaskan bukan oleh konflik, melainkan oleh gelombang cinta kritis yang akan menggulung Gedung Sate.
Ribuan buruh dari berbagai wilayah di Jawa Barat bersiap menggelar aksi demonstrasi besar sebagai refleksi 100 hari kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi.
Aksi ini tidak sekadar ajang menyuarakan ketidakpuasan, tetapi menjadi panggung moral bagi para buruh yang pernah mengibarkan panji perjuangan demi mengantar Dedi ke tampuk kekuasaan melalui Partai Buruh.
Suparno, Ketua DPW FSPMI dan Exco Partai Buruh Jawa Barat, menegaskan bahwa aksi ini bukan bentuk konfrontasi, melainkan bagian dari cinta dan tanggung jawab moral.
“Kami bukan datang untuk menjatuhkan, tapi untuk mengingatkan. Ini bentuk cinta dari rakyat yang dulu turut memperjuangkan Gubernur Dedi. Jangan hanya sibuk jadi konten medsos, tapi lahirkan kebijakan nyata!” tegas Suparno, Rabu, (2/7).
Dalam orasinya nanti, buruh membawa tiga pesan besar: perkuat regulasi dengan Pergub, benahi kinerja OPD yang belum responsif terhadap isu ketenagakerjaan, dan wujudkan jaminan kesehatan menyeluruh bagi seluruh rakyat pekerja Jawa Barat.
Wahyu Hidayat, aktivis buruh sekaligus pendiri gerakan Spirit Binokasih, menghadirkan analogi unik tentang kepemimpinan Dedi.
Ia menyamakan Dedi sebagai sopir bus penuh semangat yang membunyikan klakson "telolet" dengan gaya memukau, namun lupa berhenti sejenak di rest area untuk memastikan kenyamanan penumpangnya.
“Kami suka Gubernur Dedi yang turun langsung ke lapangan, itu inspiratif. Tapi inspirasi saja tidak cukup. Kami butuh solusi. Butuh Pergub, bukan hanya surat edaran,” kata Wahyu.
Ia juga menyoroti masalah Universal Health Coverage (UHC) di 12 kabupaten/kota di Jawa Barat yang hingga kini belum optimal.
"Jaminan kesehatan bukan hadiah, tapi hak dasar rakyat pekerja," ujarnya.
Tak hanya itu, legalitas Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) juga menjadi sorotan. Saat ini, terjadi degradasi nilai UMSK secara konstitusional.
Meskipun negosiasi bipartit antara pengusaha dan pekerja telah meredakan sebagian konflik, absennya ketegasan dari pemerintah daerah membuat keadilan upah seolah menjadi mimpi yang tertunda.
Aksi ini juga dimaksudkan sebagai panggilan bagi seluruh warga Jawa Barat untuk turut berpartisipasi dalam demokrasi sosial.
“Kami ingin spirit Binokasih benar-benar hidup: silih asah, silih asih, silih asuh. Buruh tidak hanya menuntut, kami juga ingin memberi,” tambah Wahyu.
Ia mengajak masyarakat menyuarakan dukungan melalui media sosial, mengikuti diskusi publik, hingga menekan DPRD untuk bersikap lebih pro-rakyat.
Bagi para buruh, perjuangan ini bukan sekadar soal upah atau jaminan, tetapi juga tentang martabat dan masa depan bersama.
Mereka menyadari, jalan menuju Jawa Barat yang adil dan sejahtera tidak bisa ditempuh sendirian. Butuh kemauan politik dari pemimpin, keberanian dari rakyat, dan kolaborasi dari semua pihak.
Sebagai Gubernur yang dielu-elukan karena gayanya yang merakyat dan lincah di media sosial, Dedi Mulyadi dihadapkan pada tantangan nyata: menjawab harapan konkret rakyat pekerja yang menginginkannya bukan hanya hadir di layar, tetapi juga dalam kebijakan yang mengubah hidup.
Buruh Jawa Barat kini menanti. Bukan dengan marah, tapi dengan harap. Mereka tidak datang membawa amarah, melainkan undangan untuk bergerak bersama.
Karena di balik setiap teriakan di depan Gedung Sate, tersembunyi harapan sederhana: hidup yang layak, pemimpin yang hadir, dan masa depan yang lebih cerah.***
(WhY)