-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

KITA BHAYANGKARA

Selasa, 17 Juni 2025 | 16:00 WIB | 0 Last Updated 2025-06-17T14:14:28Z


KabarKiri - Di hari malam RSUD Pringsewu, Lampung, pada 1 Juli 1977, seorang anak lelaki lahir kemudian diberi nama Wahyu Hidayat. Tanggal itu bukan sekadar penanda waktu, melainkan benang tak kasat mata yang mengikatnya dengan korps kepolisian Republik Indonesia, yang juga berulang tahun di hari yang sama. Bagai dua sungai yang mengalir dari sumber yang sama, Wahyu dan kepolisian menjalani alur penuh gejolak namun terhubung oleh denyut nadi pengabdian untuk negeri. Kisah Wahyu adalah epik seorang buruh yang menolak diam, adalah kobar nyala raya di tengah badai ketidakadilan, dan cerminan jiwa Bhayangkara yang tak pernah padam, meski aral melintang dan perjalanan yang ditempuh penuh duri dan luka.

Hidup punya cara sendiri untuk menggambar jalan cerita. Singkat cerita, sepulang dari magang di Jepang, Wahyu kembali menjadi buruh. Ia menyaksikan wajah kelam dunia perburuhan, diantaranya upah murah yang tak sebanding dengan keringat, jam kerja yang menggerus jiwa dan hak yang kadang diabaikan maupun kesejahteraan yang diputuskan sepihak. "Mayoritas buruh bekerja banting tulang, tapi diperlakukan seperti mesin yang bisa dibuang kapan saja,” katanya, nada getir mengiringi kenangan. "Klimaksnya saat saya tumbang, jatuh sakit, masuk ruang perawatan. Bersamaan dengan itu isteri saya pun berada di ruang persalinan dengan bayi yang ternyata telah meninggal dunia. Padahal sakit saya ya akibat sering ambil lembur demi terbeli susu dan nutrisi untuk masa kehamilan. Rasa keadilan membuncah di dada karena setelah kehilangan, saya juga harus potong gaji, menombok biaya rumah sakit."ungkapnya. Pada 2011, kenangan itu mendorongnya bergabung dengan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Dari sinilah Wahyu menjelma menjadi aktivis buruh yang kadang  menjadi singa lapangan, diantaranya sebagai Ketua PUK SPAMK FSPMI PT TS Tech Indonesia, Koordinator Presidium Aliansi Buruh Purwakarta, Ketua PC SPAMK FSPMI Kabupaten Purwakarta, Pengurus PP AMK dan Ketua Exco Partai Buruh Kabupaten Purwakarta. 

Wahyu bukan sekadar pengurus serikat yang hanya bisa berdiam dengan nama tertera di papan susunan pengurus. Ia adalah penjaga bara perjuangan kelas pekerja agar terus menyala. Adalah transformator penghantar harapan pun sebagai api yang membakar semangat ribuan buruh. Di atas mobil komando FSPMI, suaranya menggelegar, mengguncang persada. “Keadilan bukan hadiah, tapi hak yang harus kita rebut!” teriaknya dalam aksi-aksi yang menggetarkan. Ia turut memimpin langkah terpaksa, dalam penutupan Tol Cikopo, Tol EJIP, mengirim “pasukan” buruh ke Bandung, hingga berorasi di depan kantor pemerintah dengan berapi-api. Tak hanya di jalanan, sebagai pemateri, berdiskusi untuk mencari solusi, hingga ranah negosiasi, perlahan namun pasti, perjuangan kolektif ini menghantarkan kesejahteraan buruh khususnya di Purwakarta relatif membaik. Media sosial seperti Aliansi Buruh Purwakarta, Bergerak untuk Negeri, dan Infokom PP AMK menjadi corongnya, berkolaborasi dengan media nasional menggaungkan suara buruh ke penjuru negeri. Di setiap unggahan, ia menulis dengan hati: “Kami bukan mesin, kami manusia. Kami punya hak dan kami punya suara! Alhamdulillah, impian untuk berikan yang terbaik bagi anggota terwujud. Sekalipun kebanyakan emak-emak lulusan SLTP maupun SLTA dan hanya bekerja sebagai operator jahit, namun upah dan kesejahteraan di perusahaannya adalah tertinggi di Indonesia!" ujarnya. 

Gen perlawanan FSPMI mengalir deras di nadi. Konsep-Lobi-Aksi-Politik menjadi jalan untuk menggapai harapan. Tak jarang harus turun ke jalanan, Aksi-aksinya tak selalu mulus. Wahyu kerap berhadapan dengan kepolisian sebagai penjaga ketertiban yang dulu seringkali menjadi dinding di depan aspirasinya. Bentrokan fisik tak terelakkan. Pada aksi “Bastard of Bata” 2012  terjadi chaos. Bentrok dengan aparat juga terjadi di pabrik Asahimas, Jideco, Hanshin, demikian pula di Disnaker maupun pengepungan kantor pemda, masing-masing meninggalkan luka, baik di tubuh maupun hati. Puncaknya adalah aksi buruh Indofood Divisi Packaging, sebuah pertempuran yang mengguncang jiwa. Puluhan buruh terluka, ada yang nyaris buta akibat gas air mata. Puluhan motor ringsek, diceburkan ke selokan. Wahyu sendiri menahan perih selama dua minggu setelah terserempet selongsong gas air mata hingga berakhir pada proses pengadilan yang kemudian buruh diputus tidak bersalah. “Saat itu, saya pikir ini akhir. Badan perih, hati pedih!" ujarnya. 

Wahyu dan rekan-rekan seperjuangannya serta Polisi kembali sama-sama mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Dan tanggal 1 Juli adalah benang merah yang mengikat Wahyu dengan kepolisian, bagai dua burung yang terbang dari sarang yang sama. Mereka sering bertabrakan, namun tak pernah benar-benar terpisah. “Kami lahir di hari yang sama, tapi jalur kami beda. Saya buruh, mereka polisi. Tapi hati kami satu: Indonesia yang adil, damai sejahtera,” katanya dengan mata berbinar. “Saya respek dengan mereka yang bekerja profesional, yang berusaha benahi citra korps kepolisian. Mereka dipantau, dievaluasi, dan saya lihat niat tulus mereka untuk melayani,” ungkapnya.

Koneksi itu terjalin lebih dalam. Dari bentrokan hingga dialog, Wahyu dan kepolisian menari dalam tarian yang rumit, kadang sengit, kadang penuh pengertian. Namun Wahyu mengapresiasi Kepolisian yang semakin memperbaiki kualitas pelayanan bagi masyarakat. Polri telah mengubah paradigma pelayanan publik dengan menempatkan komunikasi sebagai fondasi utama. Salah satu contoh nyata adalah peran Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang oleh kaum buruh dijuluki sebagai trouble shooter atau pemecah masalah. Pendekatan proaktif dan humanis ini terlihat jelas saat Polri berhasil meredam potensi ketegangan dalam aksi besar-besaran 50.000 buruh di Jakarta pada 24-25 November 2024. Alih-alih menggunakan kekerasan, Polri membuka ruang dialog seluas-luasnya dengan serikat buruh, menciptakan solusi damai yang memungkinkan aspirasi buruh didengar tanpa mengorbankan situasi keamanan.

Polri tidak hanya hadir sebagai pengaman, tetapi juga sebagai pendamping yang memastikan setiap aksi berjalan lancar, tertib dan selamat. Pada perayaan May Day 2025 mereka telah membuktikannya. Kepolisian ingin memastikan bahwa buruh yang menuju Monas dalam giat May Day 2025 dapat lancar dan sampai di Monas dengan selamat dan tepat waktu. Acara yang dihadiri Presiden Prabowo Subianto tersebut berjalan aman terkendali dan semua peserta dipastikan dalam keadaan sehat selamat kembali sampai ke titik awal pemberangkatan dan puncak dari transformasi pelayanan Polri adalah peluncuran Desk Ketenagakerjaan pada 20 Januari 2025, sebuah inisiatif strategis yang disebut sebagai “sejarah besar bagi buruh Indonesia” oleh Penasehat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan, Andi Gani Nena Wea. Help desk Ketenagakerjaan Polri menangani kasus-kasus ketenagakerjaan yang melibatkan unsur pidana, seperti pemberangusan serikat pekerja atau pelanggaran norma ketenagakerjaan. 

Di balik kerasnya perjalanan, Wahyu bersyukur atas ikatan tak terucap dengan kepolisian, yang mengajarkannya bahwa pengabdian tak mengenal seragam. “Kami Bhayangkara, dalam makna yang berbeda. Mereka jaga ketertiban, kami jaga keadilan. Tapi hati kami sama: anak bangsa yang ingin Indonesia bangkit,” katanya dengan suara penuh semangat.

Wahyu Hidayat, seorang buruh yang menolak diam, seorang pemimpin yang menari di tepi konflik dengan berusaha menikmati setiap helaan nafas, setiap tabuh detak jantung maupun derasnya gejolak adrenalin. Dari jalanan Purwakarta hingga mimpi besar keadilan, ia membuktikan bahwa perjuangan adalah nyanyian jiwa yang tak pernah padam. Bagai sungai yang terus mengalir, Wahyu dan kepolisian terhubung dalam sebuah kolaborasi tarian abadi, kadang bertabrakan, kadang berdampingan, namun selalu menuju muara yang sama: Indonesia yang adil dan bermartabat. Tanggal 1 Juli menjadi metafora ikatan dua jiwa Bhayangkara, satu untuk keadilan, satu untuk ketertiban, namun keduanya untuk Indonesia.
×
Berita Terbaru Update