Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Jurnalis Bukan Sekadar Pena, Mereka Menghidupi Kebenaran

Senin, 30 Juni 2025 | 13:32 WIB | 0 Last Updated 2025-06-30T06:32:28Z
Wahyu Hidayat, S.H. pendiri Spirit Binokasih dan Aktivis Buruh dari Purwakarta (KabarKiri)

KabarKiri - Bayangkan sebuah dunia tanpa suara jurnalis. Tidak ada berita yang mengungkap skandal korupsi di lingkaran kekuasaan, tidak ada kisah inspiratif yang menggerakkan hati, dan tidak ada kebenaran yang terkuak dari balik tabir.

Jurnalis bukan sekadar pekerja yang menulis berita; mereka adalah pilar demokrasi, penjaga kebenaran, dan penyambung lidah masyarakat. 

Namun, pernyataan kontroversial Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), baru-baru ini seolah menampar profesi mulia ini. Dalam sebuah kesempatan, KDM menyatakan bahwa kerjasama dengan media massa "tidak diperlukan" karena media sosial dianggap lebih efektif, efisien, dan langsung menjangkau publik.

Pernyataan ini memicu polemik yang kini menjadi sorotan publik, terutama di kalangan jurnalis dan pegiat demokrasi.

Sony Fitrah Perizal, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Jawa Barat, dengan tegas menyebut pernyataan KDM sebagai "keterlaluan," terutama jika diucapkan dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik.

Menurutnya, seorang gubernur, sebagai perpanjangan tangan pemerintah, memiliki tanggung jawab untuk menjamin kemerdekaan pers, bukan justru meminggirkannya. 

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan jelas mengamanatkan perlindungan terhadap kebebasan dan independensi jurnalis. 

Pernyataan KDM dinilai tidak hanya bertentangan dengan semangat undang-undang ini, tetapi juga merendahkan peran media sebagai pilar keempat demokrasi.

Komunitas Madani Purwakarta bahkan sampai meminta KDM untuk mengklarifikasi pernyataannya, menunjukkan betapa seriusnya dampak ucapan tersebut bagi komunitas jurnalistik.

Di sisi lain, Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih, mencoba menawarkan perspektif yang lebih seimbang. 

Ia mengakui bahwa pendekatan KDM menggunakan media sosial memang efektif. Platform seperti Instagram, Twitter, atau YouTube memungkinkan komunikasi yang cepat, transparan, dan hemat anggaran.

Media sosial memungkinkan pejabat publik menyampaikan informasi langsung ke masyarakat tanpa perantara, dengan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan iklan di media massa. 

Namun, efisiensi ini ternyata membawa konsekuensi serius. Pemangkasan anggaran untuk kerjasama dengan media massa berarti pendapatan perusahaan pers, terutama media kecil dan lokal, tergerus. Akar masalahnya lebih dalam, sehingga jurnalis, sebagai ujung tombak pers ini, menjadi pihak yang paling terdampak.

Berdasarkan data Dewan Pers, lebih dari 60% jurnalis di Indonesia berpenghasilan di bawah standar upah layak. 

Gaji yang rendah, jam kerja panjang, dan risiko profesi yang tinggi termasuk ancaman fisik dan hukum sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. 

Ketika pemerintah daerah seperti halnya Pemprov Jawa Barat yang memilih untuk melakukan efisiensi anggaran komunikasi dengan memaksimalkan media sosial, berpotensi menyebabkan banyak kantor media kecil terpaksa tutup. 

Akibatnya, jurnalis kehilangan mata pencaharian, dan keberagaman suara dalam ekosistem informasi pun terancam. Pertanyaannya, apakah efisiensi anggaran harus mengorbankan keberlangsungan hidup jurnalis? Bagaimana jurnalis harus menghadapi revolusi 4.0 atau bahkan 5.0 seperti saat ini? Apakah pemerintah tidak memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung profesi yang menjadi tulang punggung demokrasi?

Polemik ini memunculkan pertanyaan mendasar: siapa yang bertanggung jawab atas kesejahteraan jurnalis? Apakah pemerintah, sebagai pihak yang diuntungkan oleh kerja jurnalis dalam menyebarkan informasi dan mengawasi kebijakan? Atau perusahaan pers, yang harus berjuang sendiri di tengah persaingan dengan media sosial dan platform digital raksasa? 

Wahyu Hidayat menegaskan bahwa KDM tidak bermaksud menghalangi peran media sebagai pilar demokrasi. 

Namun, realitasnya, kebijakan efisiensi anggaran sering kali tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi ekosistem pers. 

Publik kini terbelah: sebagian mendukung media sosial yang viral, cepat, dan hemat, sementara yang lain memperjuangkan media massa yang terverifikasi, kredibel, namun sering kali dianggap "mahal" oleh pemerintah.

Jurnalis bukan sekadar pena yang menorehkan kata-kata yang bahkan lebih tajam dari mata pedang. 

Pejuang kebenaran ini juga adalah manusia dengan keluarga, impian, dan kebutuhan. Mereka mempertaruhkan segalanya, waktu, tenaga, bahkan keselamatan demi informasi dan mengungkap kebenaran. 

Ketika media massa terpinggirkan, bukan hanya jurnalis yang menderita, tetapi juga kebenaran itu sendiri. 

Tanpa jurnalis yang bekerja secara profesional, masyarakat berisiko tenggelam dalam banjir informasi yang tidak terverifikasi, hoaks, dan propaganda. 

Media sosial, meskipun efektif, tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran media massa yang memiliki standar jurnalistik, seperti verifikasi fakta dan kode etik.

Lalu, apa solusinya? Kolaborasi antara pemerintah, perusahaan pers, dan masyarakat sipil menjadi kunci. 

Pemerintah dapat menciptakan model pendanaan berkelanjutan, seperti dana abadi pers atau insentif pajak untuk media independen. 

Perusahaan pers juga perlu berinovasi sehingga berdaya saing misalnya dengan mengintegrasikan platform digital tanpa mengorbankan kualitas jurnalistik.

Masyarakat, sebagai konsumen informasi, harus lebih kritis dan mendukung media yang kredibel, misalnya melalui langganan atau donasi. 

Selain itu, pelatihan bagi jurnalis untuk menguasai teknologi digital dapat membantu mereka tetap relevan di era media sosial.

Polemik ini adalah panggilan untuk bertindak. Jurnalis bukan sekadar alat, tetapi nyawa dari demokrasi. Jika kita membiarkan mereka terpuruk, kebenaran akan menjadi korban berikutnya.

Mendukung jurnalis, memperjuangkan kebenaran, dan memastikan bahwa suara mereka tidak pernah redup adalah bagian dari semangat kita untuk mewujudkan bangsa yang unggul, bermartabat dan sejahtera. Karena tanpa jurnalis, dunia akan kehilangan salah satu cahaya terbesarnya.***


(WhY)

×
Berita Terbaru Update