Lahir di Dusun Kemusuk, Yogyakarta pada 8 Juni 1921, Soeharto tumbuh dalam kesederhanaan dan kemiskinan.
Namun, dari desa kecil inilah muncul seorang tokoh yang kelak memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade, menjadikannya salah satu pemimpin terlama di dunia abad ke-20.
Jejak Awal: Dari Tentara ke Panggung Politik
Soeharto mengawali kariernya di dunia militer pada masa pendudukan Jepang, bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air), dan kemudian TNI setelah kemerdekaan.
Ia dikenal sebagai prajurit disiplin, oportunis, dan taktis. Karier militernya menanjak cepat, terutama setelah perannya dalam menumpas pemberontakan DI/TII dan PRRI/Permesta.
Namun, titik balik terbesar datang pada tahun 1965. Setelah peristiwa G30S/PKI yang mengguncang bangsa, Soeharto mengambil alih kendali militer dan secara perlahan menyingkirkan Presiden Sukarno dari panggung kekuasaan.
Pada 1967, ia resmi menjadi Pejabat Presiden, dan setahun kemudian diangkat menjadi Presiden ke-2 Republik Indonesia.
Orde Baru dan 'Stabilitas' yang Dibayar Mahal
Di bawah kepemimpinan Soeharto, lahirlah era yang disebut Orde Baru. Ia memperkenalkan program pembangunan nasional jangka panjang yang berfokus pada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi.
Jalan-jalan, sekolah, puskesmas, dan irigasi dibangun di seluruh pelosok negeri. Dalam dua dekade pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia meroket. Ia pun dijuluki "Bapak Pembangunan".
Namun, stabilitas itu punya harga. Di balik kemajuan ekonomi, terdapat represi terhadap kebebasan berpendapat, pembungkaman oposisi politik, dan praktik korupsi yang melibatkan kroni-kroninya.
Kekuasaan dijalankan secara sentralistik dan otoriter, menjadikan Soeharto simbol kekuasaan absolut di negeri ini.
Keruntuhan Sang Penguasa
Krisis moneter Asia 1997 menjadi awal runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Nilai rupiah anjlok, ekonomi kolaps, dan kemarahan rakyat tak terbendung.
Pada Mei 1998, gelombang demonstrasi mahasiswa dan tekanan politik memaksa Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun memimpin. Ia digantikan oleh wakilnya, B.J. Habibie.
Meski lengser, Soeharto tidak pernah benar-benar diadili atas tuduhan korupsi dan pelanggaran HAM.
Ia menghabiskan sisa hidupnya dalam pengasingan diam di Cendana hingga wafat pada 27 Januari 2008.
Warisan yang Membelah Pandangan
Warisan Soeharto menimbulkan perdebatan panjang. Di satu sisi, ia dikenang sebagai tokoh pembangunan dan penjaga stabilitas.
Di sisi lain, ia dikritik sebagai diktator yang mengekang demokrasi dan memperkaya diri dan keluarga.
Tokoh kontroversial ini bahkan diakui dunia sebagai pemimpin otoriter dengan kekuasaan yang kompleks.
Dalam buku "Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President" oleh R.E. Elson, dituliskan bahwa Soeharto adalah pemimpin yang memahami dengan baik psikologi kekuasaan di Indonesia, memainkan peran sebagai “Bapak” yang protektif sekaligus penuh kontrol.
Buku lain seperti "Pak Harto: The Untold Stories" (2011) menyajikan sisi personal Soeharto melalui kesaksian orang-orang dekatnya.
Sedangkan dalam karya jurnalistik seperti Tempo: Soeharto – Sejarah yang Hilang, terungkap sisi-sisi gelap kekuasaannya yang selama ini ditutupi oleh propaganda rezim Orde Baru.
Antara Nostalgia dan Refleksi
Hari ini, 8 Juni, bukan sekadar hari mengenang kelahiran seorang tokoh besar.
Tapi juga momentum refleksi: bagaimana kekuasaan bisa membawa kemajuan, tapi juga bisa menciptakan luka.
Soeharto telah tiada, namun warisannya masih hidup, baik dalam bentuk infrastruktur fisik maupun dalam dinamika politik dan sosial Indonesia hari ini.
Ia adalah bagian dari sejarah yang tak bisa dihapus, hanya bisa dipelajari agar tak terulang dalam bentuk yang lebih halus.***
Source:
- Elson, R.E. Soeharto: A Political Biography (Cambridge University Press, 2001)
- Pak Harto: The Untold Stories (2011, ed. General M. Jusuf)
- Tempo: Soeharto – Sejarah yang Hilang (KPG, 2008)
- Schwarz, Adam. A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability (1999)