Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan



Indeks Berita

Tanpa Wikana dan Kawan-Kawan, Proklamasi Bisa Gagal: Jejak Kader Kiri di Balik Kemerdekaan

Senin, 26 Mei 2025 | 13:04 WIB | 0 Last Updated 2025-05-26T06:09:40Z

Wikana tokoh pemuda kiri (Foto; Ilustrasi/KabarKiri)

KabarKiri - Di balik gegap gempita kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tersimpan kontribusi besar dari kelompok pemuda kiri yang selama ini jarang disebut dalam narasi resmi sejarah. Kelompok ini bukan sekadar saksi, melainkan penggerak dalam proses menuju proklamasi.


Menurut Soe Hok Gie dalam bukunya Orang-Orang Kiri di Persimpangan Kiri Jalan, sejumlah kader komunis dan sosialis memiliki andil besar dalam memuluskan jalan kemerdekaan. Nama-nama seperti Wikana, Chaerul Saleh, dan tokoh-tokoh muda lainnya disebut aktif mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, bahkan sebelum Jepang menyerah sepenuhnya kepada Sekutu.


“Tanpa Wikana dan juga Mr Subardjo, jalannya proklamasi kemerdekaan tidaklah akan begitu berjalan lancar,” tulis Gie dalam bukunya. Ia menekankan, meski ideologi mereka kerap dicurigai dan dijauhi dalam masa-masa berikutnya, namun saat itu mereka tampil sebagai motor penggerak perubahan.


Rapat-Rapat Rahasia dan Desakan Revolusioner

Pasca kekalahan Jepang, terjadi kekosongan kekuasaan yang disebut vacuum of power. Dalam kekosongan inilah para pemuda kiri memainkan peran penting. Mereka menyadari bahwa kesempatan ini tidak akan datang dua kali, dan harus dimanfaatkan untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia tanpa campur tangan Jepang.


Wikana, seorang tokoh pemuda dari kelompok kiri, mendesak Bung Karno pada 16 Agustus dini hari di rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur 56. Ia bersama kelompok pemuda lainnya menginginkan agar proklamasi dilakukan secepat mungkin tanpa menunggu sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dinilai terlalu lambat dan terlalu pro-Jepang.


Desakan tersebut memuncak pada insiden penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Para pemuda, termasuk golongan kiri, menilai bahwa terlalu banyak kompromi justru akan membuat momentum kemerdekaan hilang. “Revolusi tidak mengenal tunggu-tunggu,” demikian salah satu seruan yang dikutip dalam berbagai catatan sejarah lisan.


Warna Ideologis yang Diabaikan Sejarah

Ironisnya, setelah Indonesia merdeka, nama-nama seperti Wikana, Chaerul Saleh, dan tokoh-tokoh kiri lainnya perlahan-lahan terpinggirkan dari narasi sejarah nasional. Dominasi Orde Baru yang membabat habis pengaruh komunisme dan sosialisme dalam sejarah nasional membuat kiprah mereka nyaris dilupakan.

Padahal, keberanian mereka dalam mengambil risiko politik dan keamanan saat itu menjadi katalis yang mempercepat peristiwa 17 Agustus 1945. Mereka melampaui sekat ideologi, mengutamakan kemerdekaan di atas segalanya, bahkan jika itu harus melawan arus dominan kala itu.

Soe Hok Gie, seorang aktivis dan intelektual muda yang dikenal independen, berupaya menghidupkan kembali narasi ini melalui penelusuran sejarah alternatif. Baginya, sejarah tidak boleh dibaca hanya dari satu sisi. “Orang-orang kiri juga punya peran besar. Hanya saja sejarah menolak mengakuinya,” tulisnya.


Menulis Ulang Sejarah Secara Jujur

Kini, dalam semangat keterbukaan dan rekonsiliasi sejarah, penting untuk mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil perjuangan satu golongan saja. Peran pemuda kiri, dengan segala kontroversinya, adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa.

Pengakuan ini bukan berarti pembenaran terhadap ideologi tertentu, melainkan bentuk keadilan sejarah. Sebab, tanpa pemuda-pemuda yang progresif, radikal, dan penuh semangat revolusioner itu, kemerdekaan Indonesia mungkin saja tertunda, atau bahkan gagal dideklarasikan tepat waktu.**

×
Berita Terbaru Update