![]() |
Njoto (Ilustrasi AI/KabarKiri) |
KabarKiri - Ketika membahas sejarah jurnalisme di Indonesia, nama Njoto hampir tak pernah disebut. Padahal, kontribusinya dalam membentuk arah dan semangat pers revolusioner sangat signifikan. Dalam narasi sejarah yang sering kali dipenuhi nama-nama seperti Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco Kartodikromo, P.K. Ojong hingga Haji Misbach, peran Njoto tenggelam di balik bayang-bayang politik.
Njoto lebih banyak dikenang sebagai salah satu penggerak kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama D.N. Aidit dan M.H. Lukman. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa ia adalah sosok di balik suksesnya Harian Rakjat, media resmi PKI yang pada masanya memiliki oplah yang sangat besar. Media tersebut menjadi senjata utama perjuangan ideologis yang mengusung kepentingan rakyat kecil.
“Lenin, Pers dan Kita” adalah tulisan legendaris Njoto yang memuat gagasan penting tentang jurnalisme. Di sana ia menegaskan bahwa pers tidak boleh mengambil posisi tengah atau netral dalam peliputan, melainkan harus berpihak kepada mereka yang tertindas.
Objektivitas Versus Netralitas: Perspektif Njoto
Njoto membedakan secara tajam antara sikap objektif dan netral dalam jurnalistik. Baginya, objektif bukan berarti netral. Objektivitas berarti berpijak pada kebenaran dan realitas konkret, sedangkan netralitas justru berbahaya karena berisiko menutupi ketimpangan sosial yang nyata.
Sebagai contoh, ketika pemerintah menaikkan harga BBM, jurnalis yang objektif menurut Njoto bukan hanya melaporkan fakta tersebut, melainkan juga menjelaskan siapa yang paling terdampak—biasanya rakyat miskin. Sebaliknya, jurnalisme netral hanya menyampaikan kronologi keputusan tanpa keberpihakan atau analisis mendalam.
Pers Harus Berpartai: Bukan Afiliasi, Tapi Komitmen Politik
Bagi Njoto, pers yang baik bukanlah pers yang menghindari politik, melainkan yang memiliki komitmen politik yang jelas untuk membela kelas pekerja. Dalam semangat yang sejalan dengan Lenin dalam What Is To Be Done, Njoto menekankan pentingnya fungsi media sebagai pengungkap ketidakadilan struktural.
“Mengorganisasi penelanjangan-penelanjangan politik yang meliputi semua segi,” tulis Lenin. Itulah prinsip yang dihidupi Njoto melalui Harian Rakjat—sebuah media yang tak hanya memberitakan, tapi juga mengorganisasi kesadaran rakyat.
Kritik Tajam Terhadap Media Sensasional dan Elitis
Njoto menolak media yang hanya mengejar rating dengan berita-berita remeh dan tidak substansial. Ia percaya bahwa ruang redaksi semestinya menjadi benteng terakhir rakyat melawan hegemoni kekuasaan dan modal.
Dalam konteks kekinian, saat oligarki menguasai sebagian besar saluran media di Indonesia, warisan pemikiran Njoto justru terasa relevan. Model media ala Njoto dapat menjadi alat counter-hegemonic terhadap dominasi kapital di ranah informasi.
Njoto: Humanis, Seniman, dan Revolusioner
Berbeda dari citra kaku kaum komunis pada umumnya, Njoto justru dikenal sebagai pribadi necis, penyuka seni, dan penghayat budaya. Ia piawai memainkan saksofon dan biola, menikmati simfoni klasik, menonton teater, bahkan menulis puisi yang tak selalu “pro-rakyat”.
Ia bahkan pernah mencoret film The Old Man and the Sea—adaptasi novel Ernest Hemingway—dari daftar hitam PKI atas dasar nilai humanismenya. Ini menunjukkan bahwa pemikiran Njoto tidak dogmatis, tetapi lentur dan progresif.
Kontroversi Cinta dan Retaknya Ikatan dengan Aidit
Menjelang peristiwa kelam G30S 1965, posisi Njoto dalam lingkaran elite PKI mulai meredup. Ia diduga disingkirkan Aidit karena terlalu dekat dengan Presiden Sukarno. Perselingkuhannya dengan Rita, seorang perempuan asal Rusia yang diduga agen KGB, semakin memperuncing jarak antara keduanya.
Namun, sebagian besar sejarawan tidak menemukan bukti kuat bahwa Njoto terlibat langsung dalam peristiwa G30S. Narasi resmi Orde Baru yang menyamaratakan semua kader PKI sebagai pelaku pemberontakan telah menenggelamkan sisi lain dari Njoto: seorang idealis dan intelektual pers.**