![]() |
Wahyu Hidayat, S.H. yang merupakan aktivis buruh dan pendiri Spirit Binokasih |
KabarKiri - Fenomena 'Rojali' (Rombongan Jarang Beli) dan 'Rohana' (Rombongan Hanya Nanya) telah menjadi sorotan publik di media sosial, mencerminkan lebih dari sekadar guyonan.
Istilah ini menggambarkan kelompok pengunjung mal yang datang beramai-ramai, namun hanya melihat-lihat atau bertanya tanpa membeli.
Fenomena ini sejatinya bukan hal baru, namun intensitasnya meningkat seiring tekanan ekonomi yang belum pulih pasca pandemi.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menyatakan bahwa daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, belum kembali seperti sebelum pandemi, dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,87% pada kuartal pertama 2025, menurut data BPS.
Anggota Komisi XI DPR RI, Ahmad Najib Qodratullah, menilai Rojali dan Rohana sebagai sinyal bahaya yang mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat.
Hal ini diperparah oleh disparitas upah yang menjadi sorotan Wahyu Hidayat, pengurus Exco Partai Buruh dan pendiri Spirit Binokasih.
Dalam pandangannya, kelas pekerja telah lama berjuang melawan erosi daya beli akibat ketimpangan upah.
"Jangankan bicara daya beli, disparitas upah saja telah menciptakan luka sosial dan ekonomi yang nyata," ujar Wahyu, Sabtu (9/8).
Ia menyoroti dampak seperti ketimpangan pendapatan yang memperlebar Indeks Gini ratio, migrasi tenaga kerja yang menyebabkan brain drain, relokasi industri ke wilayah berupah rendah, hingga pengangguran akibat efek disemployment dari kenaikan upah minimum yang tidak seimbang.
Wahyu juga menyinggung "korosi sosial" akibat disparitas upah, seperti budaya permisif suap untuk pekerjaan bahkan dari berhutang, erosi nilai sosial, dan persaingan antar-daerah yang memicu "race to the bottom" demi menarik investasi.
Fenomena ini, menurutnya, memperburuk standar tenaga kerja dan produktivitas.
"Pekerja yang berjuang mempertahankan daya beli justru dianggap serakah dan tak tahu diri. Ini mengerikan!" tegasnya.
Ia mempertanyakan bagaimana Indonesia bisa mencapai visi Indonesia Emas 2045 jika ketimpangan ini terus berlanjut.
Untuk mengatasi masalah ini, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Barat akan menggelar workshop pengupahan pada 14-15 Agustus 2025 di KC FSPMI Kabupaten Purwakarta.
Acara ini bertujuan merumuskan formula pengupahan yang lebih adil untuk disampaikan ke tingkat pusat, sebagai langkah menuju Indonesia Emas 2045.
Selain itu, FSPMI bersama Partai Buruh dan elemen buruh lain juga telah menyiapkan draf UU Ketenagakerjaan untuk memperbaiki struktur pengupahan dan melindungi hak pekerja meskipun justeru Pemerintah dan DPR RI yang diamanahkan untuk menyusun UU Ketenagakerjaan baru masih belum terlihat menggarapnya.
"Kami ingin mengembalikan Indonesia ke jalur yang seharusnya, bukan hanya bertahan, tapi berkembang," ujar Wahyu.
Fenomena Rojali dan Rohana juga mencerminkan perubahan perilaku konsumen.
Menurut penelitian dalam Jurnal Ekonomi Syariah (2025), mal kini menjadi ruang publik untuk nongkrong dan mencari konten media sosial, bukan hanya tempat belanja.
Meski demikian, dampaknya signifikan bagi pelaku usaha. Omzet ritel menurun, meskipun sektor makanan dan minuman masih mengalami kenaikan 5-10% karena pengunjung tetap membeli camilan.
Pengelola mal diminta berinovasi untuk mendorong transaksi. Pemerintah dan pelaku usaha perlu melihat fenomena ini sebagai alarm untuk memperkuat konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari 52% PDB nasional.
Bank Indonesia telah menurunkan BI-Rate untuk mendorong kredit murah, namun solusi jangka panjang memerlukan kebijakan yang mendukung wirausaha dan investasi padat karya, seperti disarankan oleh ekonom Esther.
Tanpa langkah strategis, visi Indonesia Emas 2045 bisa terhambat oleh ketimpangan sosial-ekonomi yang semakin nyata.***
(WhY)