-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan


 

Indeks Berita

Bahaya Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Speak Up!

Minggu, 10 Agustus 2025 | 19:57 WIB | 0 Last Updated 2025-08-10T13:11:39Z
Plang papan nama perusahaan  PT. Metro Pearl Indonesia, Jatiluhur, Purwakarta (KabarKiri)

KabarKiri - Pelecehan seksual di tempat kerja merupakan ancaman serius yang tidak hanya merusak kesejahteraan individu, tetapi juga mencoreng integritas lingkungan kerja. 

Kasus terbaru di PT. Metro Pearl Indonesia (MPI) Jatiluhur, Purwakarta, menjadi cerminan betapa masalah ini masih mengintai pekerja, khususnya perempuan. 

Seorang buruh perempuan berinisial AP, yang telah bekerja hampir setahun, mengalami perlakuan tidak senonoh dari atasannya, AG. 

Meski kejadian ini berlangsung sejak lama, baru pada 6 Agustus 2025 AP memberanikan diri melapor ke Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT. MPI. 

Tindakan cepat diambil: pelaku dipecat tanpa pesangon dan kasusnya dilaporkan ke polisi karena perbuatannya melampaui batas kesopanan, termasuk tindakan fisik yakni upaya pemaksaan.

Sayangnya, AP dianggap mengundurkan diri setelah tidak masuk kerja selama lima hari berturut-turut, dan meskipun serikat menawarkan pendampingan, ia memilih untuk tidak kembali bekerja.

Wahyu Hidayat, pengurus Exco Partai Buruh dan pendiri Spirit Binokasih, menyoroti keprihatinannya terhadap kasus ini. Ia menekankan pentingnya keberanian korban untuk bersuara, baik terhadap pelecehan verbal, nonverbal, maupun fisik.

Menurutnya, tindakan yang dianggap "sepele" seperti komentar mesum atau sentuhan tanpa izin dapat berujung pada sanksi berat, mulai dari pemecatan hingga pidana. 

"PR kita bersama bahwa sekira 70,81% pekerja di Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, dengan pelaku mayoritas adalah atasan yang menyalahgunakan kuasa. Data ini menunjukkan betapa rentannya pekerja, terutama perempuan, terhadap eksploitasi di lingkungan kerja. Pelecehan seksual memiliki dampak yang luas. Korban sering mengalami trauma psikologis, stres, depresi, hingga penurunan kepercayaan diri, yang pada akhirnya mengganggu produktivitas dan perkembangan karier mereka. Dalam kasus AP, tekanan psikologis mungkin menjadi alasan ia memilih untuk tidak kembali bekerja meskipun ada dukungan serikat." ujar Wahyu, Minggu (10/10). 

Undang--undang di Indonesia, seperti UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Pasal 289-296 KUHP, memberikan landasan hukum untuk menjerat pelaku dengan ancaman pidana hingga 7-12 tahun penjara. 

Namun, tantangan terbesar adalah rendahnya tingkat pelaporan. 

Banyak korban, seperti yang diungkapkan dalam laporan Komnas Perempuan, merasa malu atau takut kehilangan pekerjaan, sehingga memilih diam.

"Kasus AP adalah langkah maju karena ia berani melapor, walaupun atasannya ini juga dikenal sebagai "jagoan setempat". Kasus akan tetap dimonitoring dan aparat penegak hukum diharapkan dapat berlaku profesional dalam menanganinya. Tapi, keputusan AP untuk tidak kembali bekerja, ini menunjukkan perlunya sistem pendampingan yang lebih kuat untuk membantu korban pulih dan merasa aman." tegas Wahyu.

Perusahaan memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari pelecehan. 

Kementerian Ketenagakerjaan telah menerbitkan Kepmenaker No. 88 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja, yang mendorong perusahaan untuk memiliki kebijakan internal dan saluran pengaduan yang aman. 

Namun, implementasi kebijakan ini sering kali lemah, terutama di sektor industri seperti tekstil dan garmen, di mana kasus pelecehan seksual marak terjadi.

Serikat pekerja, seperti SPN, memainkan peran penting dalam mendampingi korban, tetapi mereka juga perlu dukungan dari pemerintah dan pengusaha untuk memastikan perlindungan pekerja.

Masyarakat, termasuk rekan kerja dan serikat, harus mendukung korban untuk berani bersuara. Seperti yang dikatakan Wahyu, tindakan kecil yang dianggap "bercanda" bisa menjadi pintu masuk menuju pelecehan yang lebih serius.

Kesadaran kolektif untuk menolak budaya yang menormalkan perilaku tidak pantas adalah langkah awal menuju perubahan. 
Kasus di PT. MPI Jatiluhur harus menjadi pengingat bahwa pelecehan seksual bukan hanya masalah individu, tetapi cerminan kegagalan sistemik yang harus diperbaiki bersama.***


(WhY)

×
Berita Terbaru Update