![]() |
Sekjend Partai Buruh, Ferri Nuzarli bersama ketua Bapilu Ilhamsyah dan Wakil Presiden Jumisih saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Legislasi DPR RI (KabarKiri) |
KabarKiri – Di balik dapur-dapur mewah dan rumah-rumah megah, jutaan pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia bekerja tanpa perlindungan hukum yang jelas.
Mereka adalah tulang punggung keluarga, mengasuh anak-anak, menjaga kebersihan, dan memastikan roda rumah tangga berjalan. Namun, ironisnya, hak-hak mereka sering kali diabaikan.
Upah di bawah standar, jam kerja tak manusiawi, hingga kekerasan fisik dan psikis menjadi realitas pahit yang dihadapi 4,2 juta PRT di Indonesia, mayoritas perempuan (84%) dan bahkan anak-anak (14%) yang rentan eksploitasi.
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), yang telah diperjuangkan selama 21 tahun, adalah secercah harapan untuk mengakhiri ketidakadilan ini.
Sekretaris Jenderal Partai Buruh, Ferri Nuzarli, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi DPR RI pada 17 Juli 2025, menegaskan bahwa pengesahan RUU ini adalah amanat Presiden Prabowo Subianto yang memberikan tenggat tiga bulan kerja untuk DPR menyelesaikannya.
“Semakin cepat selesai, semakin baik,” tegasnya.
Mengapa RUU PPRT begitu mendesak?
Pertama, PRT bukan sekadar “pembantu,” melainkan pekerja yang berhak atas perlindungan hukum setara. Konvensi ILO No. 189 tahun 2011, yang menjadi acuan global, menjamin hak PRT atas upah layak, jam kerja wajar, jaminan sosial, hingga kebebasan berserikat. Namun, di Indonesia, regulasi seperti UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 tidak mengakomodasi PRT secara spesifik, meninggalkan mereka dalam “ruang gelap ketenagakerjaan”.
Kedua, RUU PPRT mengusung solusi konkret: pengaturan jam kerja maksimal 8 jam per hari, hak atas hari libur mingguan, upah minimum sesuai UMR daerah, dan jaminan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan. Partai Buruh juga mendorong kesepakatan kerja tertulis yang diketahui RT/RW untuk memastikan transparansi dan pengawasan.
Ketiga, mekanisme mediasi sengketa di tingkat lokal hingga dinas ketenagakerjaan akan melindungi PRT dari eksploitasi dan memastikan hubungan kerja yang adil.
Namun, perjuangan ini tidak tanpa hambatan. Sejak 2004, RUU PPRT terus terhambat oleh perdebatan soal aspek sosiokultural dan resistensi dari sebagian pimpinan DPR.
Komnas Perempuan mencatat bahwa penundaan ini melanggar hak konstitusional PRT atas pekerjaan layak, sebagaimana diamanatkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
Pengesahan RUU PPRT bukan sekadar formalitas hukum, melainkan simbol komitmen negara terhadap keadilan sosial menuju Indonesia Emas 2045.
Kita perlu mendorong DPR untuk memprioritaskan RUU ini sebagai carry-over dalam Prolegnas 2025-2029.
Masyarakat sipil, serikat pekerja, dan seluruh warga negara harus bersatu, mengawasi, dan mendesak pengesahan RUU ini. Seperti yang dikatakan oleh Wahyu Hidayat dari Partai Buruh, “Semoga RUU PPRT menjadi tonggak sejarah untuk PRT yang unggul, bermartabat, dan sejahtera!”***
(WhY)