KabarKiri – Di tengah semangat pemerintah untuk memperkuat infrastruktur pendidikan, proyek pembangunan gedung SDN 89 Batukaropa di Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, justru menuai kritik dan sorotan tajam.
Warga menilai proyek senilai sekitar Rp600 juta yang dikerjakan secara swakelola itu terkesan asal jadi dan tidak memenuhi standar bangunan pendidikan yang layak.
Bangunan Baru, dalam Tahap Pengerjaan Tapi Sudah Rusak
Selasa (7/10/2025), di tengah terik matahari, beberapa pekerja tampak sibuk melakukan pekerjaannya.
Sepintas dari kejauhan, bangunan baru itu tampak berdiri megah. Namun, mendekat sedikit saja, tampak jelas sejumlah kerusakan pada tiang tiang cor kolom beton.
Sebagian permukaan beton tampak berlubang terlihat tidak rata, semen yang digunakan tampak tidak padat, bahkan ada tulangan besi yang mencuat keluar tanpa balutan beton yang memadai.
Kondisi itu membuat warga gusar, terlebih gedung tersebut diperuntukkan bagi anak-anak yang akan menempuh pendidikan dasar di sana.
“Ini bangunan sekolah, bukan proyek biasa. Mestinya dikerjakan dengan baik karena akan digunakan sebagai fasilitas pendukung anak-anak belajar bertahun-tahun,” keluh Arie, salah seorang warga setempat.
Ia menyebut, lemahnya pengawasan dari pihak Dinas Pendidikan maupun tim teknis pemerintah daerah menjadi salah satu penyebab utama buruknya mutu pekerjaan.
“Kalau dilihat dari hasilnya, kuat dugaan ini tidak sesuai standar. Beton banyak yang kropos, besi kelihatan, tiang tiang cor ini meragukan kualitasnya, penampakan ini seolah menjadi pembiaran oleh ketua pelaksana dan konsultan atau pengawas, karena Kami khawatir kalau nanti sudah dipakai, bangunannya mudah rusak,” ujarnya.
Swakelola Tanpa Keterlibatan Warga
Proyek SDN 89 Batukaropa ini menggunakan sistem swakelola, di mana pihak sekolah bersama panitia lokal bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pekerjaan tanpa melibatkan kontraktor.
Idealnya, sistem ini dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat sekitar. Namun, di Batukaropa, semangat itu tampaknya tidak berjalan sesuai harapan.
Menurut Arie, pelaksanaan swakelola tersebut dinilai tidak transparan. Ia bahkan mengaku tidak mengetahui kapan pembentukan panitia dilakukan.
“Kami juga heran, tiba-tiba saja sudah ada ketua pelaksananya. Kami khawatir pembentukan tim pengelola ini tidak melalui rapat yang melibatkan pihak berkepentingan, termasuk warga sekitar sekolah,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menyoroti bahwa tenaga kerja dan tukang yang digunakan bukan berasal dari warga desa setempat, melainkan dari luar wilayah.
“Padahal prinsip swakelola itu kan untuk melibatkan partisipasi masyarakat sekitar agar ikut merasa memiliki proyek ini,” tambahnya.
Ancaman Aduan ke Kejati Sulsel
Hingga berita ini diturunkan, pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Bulukumba yang dikonfirmasi melalui sekretarisnya belum memberikan tanggapan resmi atas kondisi tersebut.
Warga berharap pemerintah daerah segera turun tangan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek ini, sebelum bangunan digunakan secara resmi oleh siswa.
“Kalau memang tim pengawas atau pihak terkait tidak segera menindaklanjuti, kami akan melayangkan aduan ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel). Anggarannya besar, jadi harus jelas penggunaannya,” tegas Arie menutup percakapan.
Transparansi dan Pengawasan Diperlukan
Kasus di SDN 89 Batukaropa ini menjadi potret kecil tantangan penerapan sistem swakelola di daerah.
Di atas kertas, sistem ini menjanjikan efisiensi dan pemberdayaan masyarakat. Namun, tanpa transparansi, pengawasan ketat, dan partisipasi warga, hasilnya justru bisa berbalik menjadi proyek yang sarat persoalan.
Warga Batukaropa kini menunggu jawaban dari pemerintah. Mereka tidak menolak pembangunan, hanya ingin memastikan bahwa setiap rupiah dari uang rakyat benar-benar digunakan untuk membangun sekolah yang aman, kuat, dan layak bagi anak-anak mereka.***
(Sapriaris)