![]() |
Ketua MUI Kabupaten Purwakarta, Kyai H. M. John Dien (tengah) bersama sejumlah jurnalis dan aktivis (KabarKiri) |
Namun, impiannya terancam pupus karena kendala biaya keberangkatan dan administrasi sebesar Rp48 juta.
Meskipun telah berikhtiar mencari bantuan dari berbagai pihak, Asgar baru berhasil mengumpulkan Rp18 juta, menyisakan kekurangan Rp30 juta yang harus dilunasi sebelum 30 September 2025.
Peristiwa ini mengingatkan pada kasus Nata Sutisna pada tahun 2019, pemuda yang juga terkendala biaya tiket pesawat untuk beasiswa ke Tunisia.
Kedua kasus ini menegaskan pentingnya pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang setara dengan pembangunan fisik atau infrastruktur.
Menyadari urgensi ini, Asgar didampingi tim dari BELA PURWAKARTA, wadah silaturahmi lintas elemen masyarakat, serta sejumlah jurnalis dan aktivis, bertemu dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Purwakarta, Kyai H.M. John Dien.
Kyai John Dien, yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB) Kabupaten Purwakarta, merupakan figur yang sangat dihormati dan dituakan.
Beliau diharapkan dapat menjadi Solidarity Maker dan jembatan untuk menemukan solusi atas kesulitan yang dialami Asgar.
Dalam pertemuan tersebut, Kyai John Dien menyampaikan komitmennya untuk membantu.
"Mari permudah langkah Asgar," ajaknya.
Beliau berjanji akan menggunakan kapasitasnya sebagai pengayom dan pemersatu umat untuk mencarikan jalan keluar terbaik.
Hal ini mencakup upaya membangkitkan Power of Berjamaah atau solidaritas sosial di kalangan masyarakat untuk berdonasi, jika opsi lain tidak memungkinkan.
Di sisi lain, Aa Komara, Founder Bela Purwakarta, menyoroti pentingnya solusi sistemik agar kejadian serupa tidak terulang.
Ia menceritakan bahwa Bela Purwakarta sudah mengajukan usulan kepada Pemkab Purwakarta untuk mengalokasikan anggaran Biaya Tidak Terduga (BTT) non-kebencanaan dalam APBD. Menurutnya, selama ini BTT hanya tersedia untuk kebencanaan, padahal kebutuhan mendesak warga, terutama di sektor pendidikan, juga seringkali bersifat tidak terduga.
"Berkaca pada pengalaman yang dialami Nata Sutisna, kami, Bela Purwakarta, telah melaksanakan audiensi dengan Pemkab Purwakarta pada 16 Maret 2025, kurang dari sebulan setelah Bupati dan Wakil Bupati dilantik," ungkap Aa Komara.
Ia menambahkan bahwa usulan ini dimaksudkan agar pemerintahan dapat mengantisipasi hal-hal mendesak yang menjadi kebutuhan warga. Kebijakan ini akan menjadi Legacy dari pemerintahan saat ini.
"Semoga dengan adanya peristiwa faktual ini pihak Pemkab segera menindaklanjuti usulan yang pernah kami sampaikan demi kepentingan yang lebih luas dan berjangka panjang," harapnya.
Kasus Asgar juga mengundang tanggapan tajam dari Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih.
Menurutnya, masalah yang dihadapi Asgar bukan karena ia salah jalan, melainkan karena "sistem yang korup."
Ia menyoroti ketidakadilan dalam alokasi anggaran pendidikan di Indonesia.
"Pemerintah mengalokasikan 20% anggaran pendidikan dari APBN, atau sekitar Rp724 triliun pada 2025," ujar Wahyu.
Namun, ia memaparkan data yang mencengangkan: sekitar Rp91,4 triliun dialokasikan untuk 64 juta siswa pendidikan umum, sementara sekitar Rp104 triliun diberikan untuk hanya 13 ribu siswa di sekolah kedinasan.
"Data ini menunjukkan ketidakadilan ekstrem," tegas Wahyu.
Ia berpendapat bahwa Asgar harus "mengemis Rp48 juta" karena tidak memiliki akses ke "kolam" beasiswa formal yang lebih banyak mengalir ke jalur pendidikan tertentu.
"Fakta ini menegaskan bahwa dikotomi bukan hanya masalah teori, melainkan sebuah kebusukan sistematis yang merenggut mimpi anak bangsa," lanjutnya.
Wahyu pun mempertanyakan kembali esensi pendidikan di Indonesia. "Apakah pendidikan itu sebuah kewajiban negara atau sekadar bisnis?" tanyanya.
Ia mengkritik mengapa jalur pendidikan seperti pesantren, yang melahirkan banyak pemuda berprestasi seperti Asgar, seringkali dipandang sebagai "anak tiri" dan harus berjuang sendiri.
"Asgar tidak salah... Yang salah adalah sistem yang memaksanya menjadi pengemis di tengah limpahan dana. Sistem yang korup ini tidak hanya merenggut mimpi, tetapi juga membunuh potensi dan semangat juang anak-anak muda," pungkas Wahyu.***