![]() |
Secara mengejutkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengumumkan tentang akhir perang Iran dan Israel lewat sosial media (Foto: DailyNotif.com) |
KabarKiri - Presiden AS Donald Trump mengumumkan gencatan senjata "lengkap dan total" antara Israel dan Iran pada 23 Juni 2025, menyusul serangan rudal Iran ke pangkalan udara Al Udeid di Qatar.
Trump menyebutnya akhir dari "Perang 12 Hari," mengklaim Israel dan Iran menunjukkan "stamina, keberanian, dan kecerdasan" untuk menghentikan konflik yang berpotensi menghancurkan Timur Tengah.
Namun, pernyataan ini menuai skeptisisme, terutama setelah Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi membantah adanya kesepakatan, menegaskan bahwa operasi militer berlanjut hingga Israel menghentikan agresinya paling lambat pukul 04.00 waktu Teheran.
Jenderal cadangan Israel Yom-Tov Samia mengungkapkan bahwa Iran-lah yang mengendalikan waktu dan dinamika gencatan senjata ini.
Ia meragukan klaim bahwa program nuklir Iran telah dihancurkan, menyatakan, "Kita membeli ketenangan selama beberapa tahun dengan harga yang mahal dan dengan luka yang akan bertahan selama beberapa generasi,"
seperti dikutip Al Mayadeen. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Israel, meskipun berhasil merusak beberapa fasilitas strategis Iran, gagal mencapai tujuan utama: menggulingkan Republik Islam dan menghentikan program nuklirnya sepenuhnya.
Sementara itu, situasi di Gaza tetap memprihatinkan. Kantor Media Pemerintah Gaza melaporkan "perangkap maut" berkedok bantuan kemanusiaan oleh Israel dan AS telah menewaskan 450 orang, melukai 3.466, dan menyebabkan 39 orang hilang.
Serangan Israel ke tenda-tenda pengungsi dan pusat distribusi makanan menewaskan 43 orang hanya dalam sehari, menambah jumlah korban perang menjadi lebih dari 56.000 jiwa.
Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih, menegaskan bahwa situasi global, khususnya di Gaza, jauh dari damai, menunjukkan bahwa gencatan senjata ini hanyalah topeng untuk menutupi kegagalan strategis Israel dan AS.
Iran menetapkan syarat berat untuk gencatan senjata: penarikan pasukan Israel dari Gaza, pencabutan blokade, rekonstruksi Gaza, dan penyelesaian isu dengan AS.
Syarat ini dianggap "tidak masuk akal" oleh pihak Zionis karena berpotensi mengguncang eksistensi politik Netanyahu dan melemahkan posisi Israel.
Serangan Iran ke pangkalan AS di Qatar, yang disebut Trump sebagai "respons lemah," justru menunjukkan keberanian Teheran untuk menantang dominasi AS tanpa menimbulkan korban, setelah diperingatkan sebelumnya. Ini mengindikasikan strategi Iran yang terukur, bukan kelemahan.
Gencatan senjata Israel-Iran adalah langkah sementara yang memberikan jeda dari eskalasi besar, tetapi tidak menjamin perdamaian jangka panjang.
Ketegangan dengan Iran dan konflik berlanjut di Gaza menunjukkan bahwa stabilitas regional masih rapuh. Syarat-syarat Iran untuk Gaza sulit diterima Israel, dan tanpa tekanan internasional yang kuat, krisis kemanusiaan di Gaza akan terus berlanjut.
Gencatan senjata telah menstabilkan pasar minyak dan saham global dalam jangka pendek, tetapi risiko eskalasi tetap mengintai.
Iran menghadapi tantangan ekonomi besar akibat sanksi dan kerusakan infrastruktur, sementara Israel dapat memulai pemulihan tetapi terbebani biaya perang.
Gaza tetap dalam krisis ekonomi total, dengan prospek pemulihan yang sangat suram tanpa perubahan signifikan.
Gencatan senjata ini tampaknya lebih merupakan kemenangan diplomasi Iran daripada keberhasilan Israel atau AS.
Media Israel kini gencar melancarkan propaganda untuk menutupi kegagalan mereka, dengan laporan serangan di Teheran dan kota lain sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan muka.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tujuan awal Netanyahu menggulingkan rezim Iran dan menghancurkan program nuklirnya jauh dari tercapai.
Sebaliknya, Iran berhasil mempertahankan posisinya, bahkan memaksa negosiasi di Doha yang kini menjadi sorotan. Perang ini, yang direncanakan selama satu dekade, hanya bertahan 13 hari, menandakan kekalahan strategis bagi Israel dan sekutunya.***
(WhY)